Jakarta (Antara Babel) - Nyawa kembali melayang sia-sia di sekolah pelaut
ternama di Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) belum lama
berselang. Sistem pendidikan yang berlaku di sana, dan barangkali di
kampus-kampus sejenis lainnya kembali berada di bawah sorotan tajam
publik.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai pihak yang memiliki dan
mengelola STIP, tempat kejadian perkara "bullying" yang berujung maut
itu langsung mencopot Ketua STIP, dan seperti biasanya, menjanjikan
perbaikan tata kelola kampus itu agar kejadian yang sama tidak berulang.
"Bullying" atau kekerasan sepertinya tidak dapat dipisahkan dari
kampus yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 1957 dengan nama
Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) itu.
Tidak jelas kapan dimulainya praktik pelanggaran hukum seperti
itu. Selalu saja ada taruna atau siswa lembaga pendidikan tersebut yang
gagal bernafas dari masa ke masa.
Dalam percakapan dengan Ketua Umum Pergerakan Pelaut Indonesia
(PPI) yang pernah bersekolah di STIP, derajat kekerasan dan latar
belakang korban yang jatuh berbeda-beda di kampus tersebut.
Menurut Andri Yani Sanusi, punggawa PPI, kekerasan yang terjadi
di STIP pada era 90-an, ketika sekolah ini masih berada di Jalan Gunung
Sahari, jauh lebih sadis dibanding era sekarang.
Para junior dibuat seperti berada dalam tahanan oleh para
seniornya. Ada juga siswa yang tewas kala itu. Bahkan perilaku
kekerasan memakan korban dari kalangan pengajar pula.
Sayangnya semua kejadian itu tidak terangkat ke permukaan
sehingga tidak diketahui publik secara luas dan tidak menimbulkan
kehebohan seperti kekerasan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir
ini.
Knowledge Vs Knowhow
Kekerasan yang mengakar di STIP bertitik-tolak dari filosofi pendidikan
kepelautan yang kurang tepat. Kekurangtepatan itu terletak pada anggapan
bahwa untuk membangun disiplin dalam diri siswa diperlukan kekerasan.
Disiplin dimaksud kemudian digenapkan dengan menerapkan tradisi
militeristik dalam kegiatan belajar-mengajar di kampus dan asrama. Pola
hubungan junior-senior yang sering menjadi faktor pencetus kekerasan di
STIP bertumpu pada prinsip hirarki yang ada dalam tubuh militer.
Disiplin memang diperlukan dalam pekerjaan di atas kapal yang
jika tidak dapat ditegakkan bisa mengganggu operasional kapal. Tetapi,
bukan dengan cara kekerasan untuk menumbuhkannya.
Filosofi yang kurang tepat juga bisa dilihat dari tidak
dipahaminya perbedaan antara "knowledge" dan "knowhow" dalam menyiapkan
pelaut oleh para pengelola STIP.
Maksudnya begini. Pelaut adalah salah satu profesi yang sangat
kental aspek "knowhow" atau keterampilannya dibanding aspek "knowledge"
atau pengetahuannya. Karena itu, untuk mengasah keterampilan (skill)
tadi, aspek yang diperlukan adalah latihan alias "training".
Itulah mengapa "International Maritime Organization" (IMO)
menggunakan istilah "training" tiap kali organisasi yang bermarkas di
London Inggris itu membicarakan kegiatan penyiapan tenaga kerja di atas
kapal, bukan pendidikan atau "education".
Pasalnya, education lebih menitikberatkan pada aspek
knowledge/berpikir abstrak. Orang yang mampu berpikir abstrak belum
tentu terampil, sementara orang terampil belum tentu cakap berpikir
abstrak. Harap digarisbawahi, pelaut tentu saja bukan orang bodoh.
Memutus Rantai Kekerasan
Lantas, apa yang bisa
dilakukan agar rantai kekerasan yang sudah berjangkar dalam di tubuh
STIP itu habis terputus? Gagasan ini barangkali bisa dipilih, yakni
menyerahkan pengelolaan kampus itu sepenuhnya kepada Kemenristek dan
Dikti.
Biarkan mereka yang ahli dalam bidang pendidikan dari kementerian
ini untuk mengurus calon-calon pelaut, sementara Kemenhub, dalam hal
ini Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Perhubungan fokus
pada pengembangan SDM Kemenhub yang sudah menjadi pegawai, bukan kepada
mereka yang belum tentu menjadi pegawai di instansi itu.
Sekadar catatan, pelatihan atau pendidikan pelaut di Indonesia
berada sepenuhnya di tangan Kemenhub, mulai dari tingkat rating hingga
officer dan tersebar di beberapa daerah di Tanah Air.
Tentu swasta diberi kesempatan untuk mendirikan sekolah atau
akademi pelayaran, namun perizinan dan pengawasannya tetap berada di
bawah instansi tersebut.
Dalam kurun waktu lima puluh tahun lebih eksistensi pendidikan
pelaut di Indonesia baru ada satu lembaga pendidikan milik Kementerian
Riset dan Pendidikan Tinggi yang bisa beroperasi, yakni Politeknik
Maritim Negeri Indonesia (Polimarin) di Semarang.
Sangat ironis, seluruh fasilitas yang dibangun dan dibiayai oleh
negara untuk menyiapkan tenaga pelaut, namun ketika mereka menamatkan
pelatihan hampir tidak ada yang bekerja di atas kapal-kapal negara.
Padahal, maksud didirikannya STIP/AIP dan sekolah pelaut negeri
lainnya adalah untuk menyiapkan awak di atas kapal-kapal nasional.
Bukan rahasia lagi, hampir semua siswa yang belajar di sekolah
Kemenhub bercita-cita ingin bekerja di kapal-kapal asing karena gajinya
amat menggiurkan. Siswa memang tidak masuk dan belajar gratisan di STIP
atau lembaga pelatihan lainnya, mereka tetap membayar uang kuliah.
Hanya saja, jumlahnya tidak cukup untuk membalas kebaikan negara
kepada mereka. Mudahan-mudahan tidak ada lagi kekerasan di sekolah
pelaut kita.
*Penulis, Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Memutus Rantai Kekerasan di Sekolah Pelaut
Selasa, 31 Januari 2017 0:05 WIB