Perang Ukraina-Rusia telah memasuki hari ke-500, tetapi belum ada tanda-tanda segera berakhir.
Fakta ini tak saja membuat dunia waswas, namun juga membuat cemas, baik Ukraina, Rusia, maupun Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Ukraina memang tengah dalam posisi mengambil inisiatif menyerang, tetapi ofensif balik mereka tak semulus teori di atas kertas.
Benteng pertahanan tangguh terdiri dari parit-parit perang tersambung, rangkaian ranjau, dan blok-blok beton yang dibangun Rusia, telah menghambat gerak maju pasukan Ukraina, termasuk unit kavaleri mereka.
Tetapi, kekuatan militer Rusia juga sudah terpangkas, sehingga tak bisa melancarkan ofensif.
Buktinya, Rusia hanya bisa melancarkan serangan jarak jauh dengan menggunakan rudal dan drone, untuk menghancurkan pusat komando Ukraina dan sekaligus meneror penduduk, sehingga pemerintah Ukraina tertekan untuk akhirnya mengakhiri perlawanan.
Saat ini, tentara Rusia secara umum hanya berusaha menahan laju pasukan Ukraina, sebaliknya serdadu Ukraina pun hanya bisa bergerak pelan, meter demi meter.
Ini membuat frustrasi perencana- perencana perang Ukraina, termasuk panglima militer mereka, Jenderal Valerii Zaluzhny, yang menyesali terlambat masuknya bantuan militer Barat ke negara itu.
Keadaan ini, seperti diungkapkan Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat Jenderal Mark Milley, membuat tahap-tahap awal ofensif balik Ukraina menjadi memakan waktu lama dan amat berdarah-darah.
Muncul kemudian wacana agar Amerika Serikat mengirimkan bom curah kepada Ukraina, demi menghancurkan ranjau, barikade anti-tank, dan parit pertahanan garis depan Rusia.
Bom curah dilarang oleh 100 negara, tapi tidak oleh Amerika Serikat, Ukraina, dan Rusia. Ukraina dan Rusia, bahkan menggunakan bom jenis ini dalam perang yang sudah memasuki tahun kedua tersebut.
Wacana menggunakan bom curah adalah satu dari bentuk ketidaksabaran pihak-pihak yang terlibat dalam perang ini.
Rusia sendiri mengancam menggunakan senjata nuklir agar perang ini segera berakhir, tetapi Putin mengesampingkan opsi itu, kecuali Rusia dalam ancaman penghancuran.
Tekanan ibu-ibu
Di Rusia sendiri, ketidaksabaran mendorong tentara bayaran Wagner Group pimpinan Yevgeny Prigozhin, melancarkan pemberontakan demi melengserkan petinggi-petinggi militer yang disebutnya membuat perang Ukraina berlarut-larut.
Walaupun Prigozhin tak membidik Presiden Rusia Vladimir Putin, pemberontakan itu menguatkan pandangan bahwa perang yang berlarut-larut menimbulkan perpecahan internal.
Dalam skenario seperti itu, bukan saja Putin yang terancam, karena Barat juga khawatir menghadapi Rusia pasca-Putin yang bisa lebih brutal dari saat ini.
Sejumlah pakar politik internasional malah beranggapan Barat sebenarnya tak ingin membuat Rusia kacau karena jika negara pemilik senjata nuklir terbanyak di dunia itu mengalami anarki, maka keamanan global bakal terancam.
Dalam konteks ini, ada paradoks dalam perang Ukraina bahwa sponsor-sponsor terbesar perang Ukraina, yakni AS dan Rusia, sama-sama memelihara hubungan dalam semua matra.
AS tidak menutup kedutaan besarnya di Moskow. Rusia juga tak menutup kedutaan besarnya di Washington. Dinas intelijen kedua negara itu juga tetap berbagi informasi, demi mencegah konflik tidak melewati batas yang bisa memicu konflik terbuka di antara mereka.
Di sisi lain, situasi buntu di medan perang bisa memaksa pihak-pihak bersengketa kembali ke meja perundingan. Suara seruan untuk perdamaian sendiri semakin nyaring belakangan ini. Presiden Belarus Alexander Lukashenko saja tiba-tiba menawarkan diri menjadi mediator perundingan.
Sementara itu, menurut laporan NBC, sejumlah mantan penasihat keamanan AS diam-diam bertemu dengan delegasi Rusia pimpinan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov untuk membahas kemungkinan menggelar perundingan damai.
Lavrov tak mengesampingkan perundingan, apalagi realitas-realitas perang semakin sulit dikelola oleh Rusia.
Namun, kalaupun Presiden Vladimir Putin memilih meja perundingan, maka itu bukan karena dia khawatir pasukannya kalah dari Ukraina.
Dia mungkin jauh lebih khawatir jika perang tak segera berakhir, maka semakin banyak tentara Rusia yang menjadi korban. Jika ini terjadi, maka ibu-ibu para tentara Rusia bakal lantang mendesak perang dihentikan.
Keadaan seperti itu pernah terjadi pada akhir 1980-an ketika Uni Soviet terpaksa menghentikan petualangan di Afghanistan, setelah ibu para serdadu Soviet yang tewas di medan perang, mendesak pemerintah menghentikan perang.
Dalam konteks perang Ukraina, Putin lebih suka menempatkan tentara partikelir Wagner Group dan milisi Chechnya di medan-medan perang paling berdarah, termasuk Bakhmut dan Mariupol. Dia berusaha menghindarkan jatuh korban yang banyak dari tentara reguler Rusia.
Demi nyawa manusia
Lebih dari itu, Rusia era ini tidak sama dengan Rusia era Perang Dunia Kedua. Penduduk Rusia era ini berada pada zaman "post-heroic", seperti umum terjadi pada negara-negara bertingkat kelahiran rendah.
Dalam era ini, heroisme sama pentingnya dengan menyelamatkan nyawa manusia. Orang-orang pun menjadi sensitif dengan hilangnya nyawa manusia, apalagi jika jumlahnya puluhan ribu.
Mungkin, karena alasan itu pula Putin menolak mobilisasi total militer Rusia, dengan hanya melakukan mobilisasi parsial.
Saking ingin menepis ketakutan penduduk mengenai jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar, Putin tak mau menyebut petualangan Rusia di Ukraina sebagai "perang", melainkan "operasi militer khusus" yang berkonotasi lebih lembut ketimbang "perang".
Kini, ketika semuanya seperti tengah menjadi jalan buntu, negosiasi pun menjadi pilihan. Masalahnya, opsi itu pun akan pelik untuk pihak-pihak yang bersengketa.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menegaskan bahwa perundingan damai tak boleh menggadaikan sejengkal pun wilayah Ukraina, termasuk Krimea. Namun, Zelenskyy tahu pasti Rusia tak akan mundur dari sikapnya.
Sebaliknya, Rusia tahu pasti bersikukuh dengan sikapnya, sama halnya dengan mendorong Ukraina semakin cepat bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Jika itu terjadi, maka perbatasan langsung Rusia dengan NATO bakal memanjang.
Sebelum Rusia menginvasi Ukraina, hanya Estonia dan Latvia yang menjadi daerah-daerah NATO yang berbatasan langsung dengan Rusia, selain Kaliningrad yang diapit Polandia dan Lithuania.
Kaliningrad adalah kantong wilayah Rusia yang terpisah dari daratan besar Rusia, seperti distrik Oecusse-Ambeno di Timor Leste, yang dijepit Nusa Tenggara Timur di bagian barat, timur, dan selatannya.
Kini, perang Ukraina malah memperpanjang perbatasan langsung Rusia dengan NATO, setelah Finlandia masuk blok pertahanan ini.
Tak terbayangkan jika Ukraina juga masuk NATO. Hanya Belarus dan Georgia yang menjadi negara penyangga tersisa untuk Rusia. Itu pun jika Georgia memupus keinginan bergabung dengan NATO.
Skenario-skenario seperti itu justru bisa makin mempercepat terwujudnya perundingan damai, walaupun Rusia dan Ukraina akan dipaksa memberikan konsesi-konsesi besar.
Tak apalah, demi menyelamatkan umat manusia dan memuliakan lagi perdamaian.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023
Fakta ini tak saja membuat dunia waswas, namun juga membuat cemas, baik Ukraina, Rusia, maupun Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Ukraina memang tengah dalam posisi mengambil inisiatif menyerang, tetapi ofensif balik mereka tak semulus teori di atas kertas.
Benteng pertahanan tangguh terdiri dari parit-parit perang tersambung, rangkaian ranjau, dan blok-blok beton yang dibangun Rusia, telah menghambat gerak maju pasukan Ukraina, termasuk unit kavaleri mereka.
Tetapi, kekuatan militer Rusia juga sudah terpangkas, sehingga tak bisa melancarkan ofensif.
Buktinya, Rusia hanya bisa melancarkan serangan jarak jauh dengan menggunakan rudal dan drone, untuk menghancurkan pusat komando Ukraina dan sekaligus meneror penduduk, sehingga pemerintah Ukraina tertekan untuk akhirnya mengakhiri perlawanan.
Saat ini, tentara Rusia secara umum hanya berusaha menahan laju pasukan Ukraina, sebaliknya serdadu Ukraina pun hanya bisa bergerak pelan, meter demi meter.
Ini membuat frustrasi perencana- perencana perang Ukraina, termasuk panglima militer mereka, Jenderal Valerii Zaluzhny, yang menyesali terlambat masuknya bantuan militer Barat ke negara itu.
Keadaan ini, seperti diungkapkan Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat Jenderal Mark Milley, membuat tahap-tahap awal ofensif balik Ukraina menjadi memakan waktu lama dan amat berdarah-darah.
Muncul kemudian wacana agar Amerika Serikat mengirimkan bom curah kepada Ukraina, demi menghancurkan ranjau, barikade anti-tank, dan parit pertahanan garis depan Rusia.
Bom curah dilarang oleh 100 negara, tapi tidak oleh Amerika Serikat, Ukraina, dan Rusia. Ukraina dan Rusia, bahkan menggunakan bom jenis ini dalam perang yang sudah memasuki tahun kedua tersebut.
Wacana menggunakan bom curah adalah satu dari bentuk ketidaksabaran pihak-pihak yang terlibat dalam perang ini.
Rusia sendiri mengancam menggunakan senjata nuklir agar perang ini segera berakhir, tetapi Putin mengesampingkan opsi itu, kecuali Rusia dalam ancaman penghancuran.
Tekanan ibu-ibu
Di Rusia sendiri, ketidaksabaran mendorong tentara bayaran Wagner Group pimpinan Yevgeny Prigozhin, melancarkan pemberontakan demi melengserkan petinggi-petinggi militer yang disebutnya membuat perang Ukraina berlarut-larut.
Walaupun Prigozhin tak membidik Presiden Rusia Vladimir Putin, pemberontakan itu menguatkan pandangan bahwa perang yang berlarut-larut menimbulkan perpecahan internal.
Dalam skenario seperti itu, bukan saja Putin yang terancam, karena Barat juga khawatir menghadapi Rusia pasca-Putin yang bisa lebih brutal dari saat ini.
Sejumlah pakar politik internasional malah beranggapan Barat sebenarnya tak ingin membuat Rusia kacau karena jika negara pemilik senjata nuklir terbanyak di dunia itu mengalami anarki, maka keamanan global bakal terancam.
Dalam konteks ini, ada paradoks dalam perang Ukraina bahwa sponsor-sponsor terbesar perang Ukraina, yakni AS dan Rusia, sama-sama memelihara hubungan dalam semua matra.
AS tidak menutup kedutaan besarnya di Moskow. Rusia juga tak menutup kedutaan besarnya di Washington. Dinas intelijen kedua negara itu juga tetap berbagi informasi, demi mencegah konflik tidak melewati batas yang bisa memicu konflik terbuka di antara mereka.
Di sisi lain, situasi buntu di medan perang bisa memaksa pihak-pihak bersengketa kembali ke meja perundingan. Suara seruan untuk perdamaian sendiri semakin nyaring belakangan ini. Presiden Belarus Alexander Lukashenko saja tiba-tiba menawarkan diri menjadi mediator perundingan.
Sementara itu, menurut laporan NBC, sejumlah mantan penasihat keamanan AS diam-diam bertemu dengan delegasi Rusia pimpinan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov untuk membahas kemungkinan menggelar perundingan damai.
Lavrov tak mengesampingkan perundingan, apalagi realitas-realitas perang semakin sulit dikelola oleh Rusia.
Namun, kalaupun Presiden Vladimir Putin memilih meja perundingan, maka itu bukan karena dia khawatir pasukannya kalah dari Ukraina.
Dia mungkin jauh lebih khawatir jika perang tak segera berakhir, maka semakin banyak tentara Rusia yang menjadi korban. Jika ini terjadi, maka ibu-ibu para tentara Rusia bakal lantang mendesak perang dihentikan.
Keadaan seperti itu pernah terjadi pada akhir 1980-an ketika Uni Soviet terpaksa menghentikan petualangan di Afghanistan, setelah ibu para serdadu Soviet yang tewas di medan perang, mendesak pemerintah menghentikan perang.
Dalam konteks perang Ukraina, Putin lebih suka menempatkan tentara partikelir Wagner Group dan milisi Chechnya di medan-medan perang paling berdarah, termasuk Bakhmut dan Mariupol. Dia berusaha menghindarkan jatuh korban yang banyak dari tentara reguler Rusia.
Demi nyawa manusia
Lebih dari itu, Rusia era ini tidak sama dengan Rusia era Perang Dunia Kedua. Penduduk Rusia era ini berada pada zaman "post-heroic", seperti umum terjadi pada negara-negara bertingkat kelahiran rendah.
Dalam era ini, heroisme sama pentingnya dengan menyelamatkan nyawa manusia. Orang-orang pun menjadi sensitif dengan hilangnya nyawa manusia, apalagi jika jumlahnya puluhan ribu.
Mungkin, karena alasan itu pula Putin menolak mobilisasi total militer Rusia, dengan hanya melakukan mobilisasi parsial.
Saking ingin menepis ketakutan penduduk mengenai jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar, Putin tak mau menyebut petualangan Rusia di Ukraina sebagai "perang", melainkan "operasi militer khusus" yang berkonotasi lebih lembut ketimbang "perang".
Kini, ketika semuanya seperti tengah menjadi jalan buntu, negosiasi pun menjadi pilihan. Masalahnya, opsi itu pun akan pelik untuk pihak-pihak yang bersengketa.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menegaskan bahwa perundingan damai tak boleh menggadaikan sejengkal pun wilayah Ukraina, termasuk Krimea. Namun, Zelenskyy tahu pasti Rusia tak akan mundur dari sikapnya.
Sebaliknya, Rusia tahu pasti bersikukuh dengan sikapnya, sama halnya dengan mendorong Ukraina semakin cepat bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Jika itu terjadi, maka perbatasan langsung Rusia dengan NATO bakal memanjang.
Sebelum Rusia menginvasi Ukraina, hanya Estonia dan Latvia yang menjadi daerah-daerah NATO yang berbatasan langsung dengan Rusia, selain Kaliningrad yang diapit Polandia dan Lithuania.
Kaliningrad adalah kantong wilayah Rusia yang terpisah dari daratan besar Rusia, seperti distrik Oecusse-Ambeno di Timor Leste, yang dijepit Nusa Tenggara Timur di bagian barat, timur, dan selatannya.
Kini, perang Ukraina malah memperpanjang perbatasan langsung Rusia dengan NATO, setelah Finlandia masuk blok pertahanan ini.
Tak terbayangkan jika Ukraina juga masuk NATO. Hanya Belarus dan Georgia yang menjadi negara penyangga tersisa untuk Rusia. Itu pun jika Georgia memupus keinginan bergabung dengan NATO.
Skenario-skenario seperti itu justru bisa makin mempercepat terwujudnya perundingan damai, walaupun Rusia dan Ukraina akan dipaksa memberikan konsesi-konsesi besar.
Tak apalah, demi menyelamatkan umat manusia dan memuliakan lagi perdamaian.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023