Jakarta (Antara Babel) - Mahkamah Konstitusi menolak seluruh gugatan kubu calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sehingga menguatkan keputusan Komisi Pemilihan Umum yang menyatakan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2019.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva, saat membacakan amar putusan sidang sengketa Pemilu Presiden 2014, di Gedung MK Jakarta, Kamis (11/8).
Pembacaan putusan yang diakhiri dengan ketokan palu sang hakim yang menandakan berakhirnya proses Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, sehingga calon presiden dan wakil presiden terpilih ini tinggal menunggu pelantikan dan pengucapan sumpah/janji di MPR pada 20 Oktober 2014 mendatang.
Ditolaknya gugatan Prabowo-Hatta terkait hasil Pilpres ini karena MK menilai seluruh dalil yang diajukan pemohon atas pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, tidak terbukti menurut hukum.
"Dalil pemohon tidak berdasar dan tidak dibuktikan oleh kesaksian saksi yang diajukan dalam persidangan, serta tidak disertai alat bukti lain yang memadai," kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan pertimbangan hukum putusan sengketa Pilpres.
Selain itu, lanjut Alim, pemohon juga tidak dapat menguraikan secara jelas siapa pelaku dan siapa penerimanya, kapan,
di mana terjadinya, dan berapa jumlahnya. Selain itu, tidak dapat dipastikan terjadinya politik uang tersebut akan memengaruhi pilihan pemilih dan signifikan terhadap perolehan suara.
Tim kuasa hukum Prabowo-Hatta yang mendalilkan adanya pengurangan suaranya dan penambahan suara pihak terkait (Joko Widodo-Jusuf Kalla) telah ditolak oleh mahkamah.
"Dalil pemohon tidak menguraikan dengan jelas dan rinci pada tingkat mana dan di mana terjadi kesalahan hasil penghitungan suara yang berakibat berkurangnya perolehan suara pemohon dan bertambahnya perolehan suara pihak terkait," kata Alim.
Menurut majelis Hakim, pemohon hanya mendalilkan terjadi kesalahan hasil penghitungan suara yang mengakibatkan
penambahan suara pihak terkait sebanyak 1,5 juta suara, dan pengurangan perolehan suara Pemohon sebanyak 1,2 juta suara yang terdapat di lebih kurang 155.000 TPS.
Terkait Daftar Pemilih Khusus, Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb), MK juga menilai tidak ada bukti penyalahgunaan.
"Bahwa berdasarkan bukti dari para pihak serta fakta yang terungkap dalam persidangan, termasuk keterangan ahli yang diajukan oleh Pemohon serta keterangan Bawaslu tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Termohon atau Pihak Terkait atau atas kerja sama keduanya dengan sengaja melakukan mobilisasi pemilih untuk memenangkan Pihak Terkait dan merugikan Pemohon," kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Bahkan, lanjut Fadlil, pemohon sendiri dalam permohonannya juga tidak menjelaskan cara secara tegas bagaimana mobilisasi itu dilaksanakan.
Terkait dengan dalil DPKTb-nya banya di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta, menurut mahkamah tidak terbukti menguntungkan salah satu calon pasangan.
"Setelah Mahkamah mencermati DPKTb di seluruh provinsi di Indonesia dikaitkan dengan perolehan suara masing-masing pasangan calon menurut Mahkamah, tidak terdapat penyalahgunaan DPKTb yang terbukti menguntungkan salah satu pasangan calon atau sebaliknya merugikan pasangan calon lainnya," kata Fadlil.
MK juga menilai DPKTb tidak melanggar hukum dan harus dinilai sebagai implementasi hak warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT untuk memilih.
"DPKTb, DPK, DPTB sesuai dengan hukum, telah memberikan ruang bagi pemilih meski tidak terdaftar di DPT," katanya.
Sedangkan untuk penggunaan sistem noken atau ikat di Provinsi Papua, Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams mengatakan masih bisa dibenarkan, namun harus diadministrasikan secara baik dalam dokumen C1 sehingga menguatkan keabsahan suara dan menghindari kecurangan dalam pemilu.
Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto juga mengatakan pemilu tidak boleh melanggar kesatuan adat beserta hak-hak tradisional yang dilindungi undang-undang.
MK menilai sistem noken memiliki alasan yuridis dengan menganut pokok mekanisme hukum adat yang sah.
"MK memahami nilai budaya di Papua yang khas dengan menerima kolektif dan aklamasi seperti di Yahokimo. Pemilu yang ada sebaiknya tidak dilibatkan dalam sistem persaingan yang bisa menggangu harmoni yang sudah dihayati," kata Aswanto.
Atas putusan MK ini, Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemohon tidak memiliki waktu banyak untuk mempersiapkan permohonan yang baik.
"Sejak awal saya sudah menduga bahwa MK akan mengambil putusan demikian. Bayangkan, waktu yang tersedia untuk memeriksa pemilukada bupati/walikota sama dengan waktu untuk meriksa pilpres, sehingga MK tidak akan mampu memeriksa perkara secara mendalam," kata ahli pasangan Prabowo-Hatta ini.
Yusril menambahkan, jadi sesungguhnya mungkin saja apa yang didalilkan pasangan Prabowo-Hatta mengandung kebenaran, tapi karena waktu untuk membuktikannya sangat terbatas, sehingga prosesnya tidak mendalam.
"Karena putusan MK adalah final dan mengikat, maka semua pihak harus menerimanya sebaga hasil maksimal yang bisa dicapai," katanya.
Sedangkan salah satu Kuasa Hukum Prabowo-Hatta, Egi Sudjana, mengatakan putusan majelis hakim MK ini hanya mengcopy paste apa yang ditulis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Jadi para hakim ini adalah juru bicara KPU bukan mengadili kita. Jadi nggak ada keadilan di sini," kata Egi usai sidang putusan.
Menurut Egi, putusan MK ini merupakan peristiwa yang menyedihkan secara bangsa, karena mencederai rasa keadilan masyarakat.
Dia mengatakan bahwa putusan final mengikat ini hanya di ranah MK, namun dalam politik masih bisa terjadi untuk diperjuangkan. *