Jakarta (ANTARA) - Di tengah polemik aturan Jaminan Hari Tua yang hanya bisa dicairkan peserta yang berusia 56 tahun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia, Pemerintah meluncurkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pada Februari 2022 lalu.
Akankah program JKP ini menjadi solusi atas polemik JHT atau malah menimbulkan masalah baru?
Program JKP sesungguhnya sudah diundangkan sejak 2 Februari 2021 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021. Namun, manfaat JKP dapat diajukan setelah peserta memiliki masa iur paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar iuran JKP paling sedikit 6 bulan berturut-turut kepada BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Oleh karena itu, proses pengajuan klaim JKP dapat dilakukan mulai Februari 2022. Program JKP bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian keberlangsungan pendapatan (dalam kurun waktu tertentu) bagi pekerja/buruh yang terkena PHK agar dapat mempertahankan derajat kehidupannya.
Program JKP diselenggarakan dengan prinsip asuransi sosial. Penyelenggara program JKP adalah BPJS Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan manfaat uang tunai dan Kemenaker yang berkaitan dengan pelatihan dan proses pencarian kerja.
Pekerja/buruh yang dapat menjadi peserta program JKP adalah warga negara Indonesia yang belum berusia 54 tahun pada saat mendaftar dan mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha (penerima upah).
Penetapan usia di bawah 54 tahun dilakukan dengan pertimbangan usia tersebut adalah usia produktif dan masih memiliki keinginan untuk kembali bekerja.
Pekerja bukan penerima upah tidak dapat menjadi peserta JKP karena sulit menentukan status keaktifan bekerjanya. Kalaupun pekerja tersebut terbukti sudah tidak bekerja, akan sulit menentukan alasan pekerja tersebut berhenti bekerja.
Selain itu, besarnya penghasilan pekerja bukan penerima upah yang nantinya akan dijadikan acuan besaran manfaat uang tunai, juga sulit untuk diverifikasi.
Baca juga: JHT bukan tabungan biasa
JKK dan JKM
Persyaratan lain menjadi peserta JKP adalah pekerja/buruh pada perusahaan berskala usaha besar dan menengah harus diikutsertakan pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun.
Sedangkan pekerja/buruh pada perusahaan berskala usaha mikro dan kecil harus diikutsertakan pada program JKN, JKK, JKM, dan JHT.
Manfaat program JKP diberikan kepada peserta yang mengalami PHK, selain PHK karena mengundurkan diri, cacat total tetap, pensiun, atau meninggal dunia, baik untuk hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu maupun tidak tertentu.
Manfaat program JKP bagi peserta yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu diberikan apabila PHK oleh pengusaha dilakukan sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu.
Manfaat program JKP berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Manfaat uang tunai diberikan setiap bulan paling banyak 6 bulan, yaitu sebesar 45 persen dari upah untuk 3 bulan pertama dan sebesar 25 persen dari upah untuk 3 bulan berikutnya.
Upah yang digunakan sebagai dasar pembayaran manfaat uang tunai adalah upah terakhir pekerja/buruh yang dilaporkan pengusaha kepada BPJS Ketenagakerjaan dan tidak melebihi batas atas upah sebesar Rp5 juta.
Manfaat akses informasi pasar kerja diberikan dalam bentuk layanan informasi pasar kerja dan/atau bimbingan jabatan, sedangkan manfaat pelatihan kerja berupa pelatihan berbasis kompetensi.
Pendanaan program JKP sebesar 0,46 persen dari upah sebulan, bersumber dari Pemerintah Pusat sebesar 0,22 persen dari upah sebulan dan dari peserta sebesar 0,24 persen dari upah sebulan.
Sumber pendanaan JKP dari peserta diambil dari iuran program JKK sebesar 0,14 persen dari upah sebulan dan iuran program JKM sebesar 0,10 persen dari upah sebulan. Upah yang digunakan sebagai dasar penghitungan iuran adalah upah terakhir pekerja/buruh yang dilaporkan pengusaha kepada BPJS Ketenagakerjaan dan tidak melebihi batas atas upah sebesar Rp5 juta.
Menurun 39 bulan
Setelah program JKP ini resmi diluncurkan, muncul permasalahan baru, seperti dasar hukum, pendanaan, implikasi pendanaan, dan penyelenggaraan program JKP.
Pertama, dasar hukum program JKP, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021, merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam 2 tahun ke depan.
Walaupun demikian, selama proses perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja, program JKP tetap dapat diimplementasikan.
Kedua, pendanaan program JKP sebesar 0,46 persen pada awalnya didesain hanya untuk membayar manfaat uang tunai. Seiring dengan berjalannya proses penyusunan peraturan, iuran sebesar 0,46 persen ini ditetapkan sudah termasuk pembiayaan akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja.
Akibatnya, perhitungan iuran sebesar 0,46 persen ini menjadi tidak relevan lagi dan iuran program JKP harus ditingkatkan sampai di atas 2 persen untuk menjamin keberlangsungan program JKP.
Di samping itu, pendanaan program JKP yang bersumber dari iuran program JKM akan memberikan dampak buruk terhadap keberlangsungan program JKM karena meningkatkan rasio klaim dan menurunkan kesehatan keuangan program JKM.
Pada tahun pertama penyelenggaraan program JKP, rasio klaim program JKM yang meningkat secara signifikan, dari 73,80 persen pada akhir tahun 2020 menjadi 128,14 persen pada akhir tahun 2021.
Rasio klaim sebesar 128,14 persen artinya pembayaran manfaat program JKM lebih besar dibandingkan dengan iuran program JKM yang diterima BPJS Ketenagakerjaan selama tahun 2021.
Pendanaan program JKP dari iuran program JKM juga mengakibatkan kesehatan keuangan program JKM pada akhir tahun 2021 menurun secara signifikan, dari 109 bulan pada akhir tahun 2020 menjadi 39 bulan pada akhir tahun 2021.
Tinjau kembali JKP
Kesehatan keuangan program JKM sebesar 39 bulan artinya dana yang tersedia untuk membayarkan manfaat JKM pada posisi akhir tahun 2021 hanya untuk 39 bulan ke depan.
Jika kedua kondisi ini terus berlanjut, maka diproyeksikan di masa mendatang BPJS Ketenagakerjaan tidak dapat membayarkan manfaat program JKM kepada peserta dan keberlangsungan program JKM dapat terancam.
Untuk mengantisipasi hal ini, dalam jangka pendek BPJS Ketenagakerjaan telah memperbaharui strategi investasi dana program JKM untuk menjamin tersedianya aset untuk memenuhi kewajiban membayarkan manfaat JKM di masa mendatang.
Namun, untuk jangka panjang, kebijakan ini tidak dapat dilakukan karena dana program JKM yang seyogyanya dinvestasikan akan terus tergerus untuk pembayaran manfaat program JKM kepada peserta saat ini.
Ketentuan pendanaan program JKP dari iuran program JKK dan JKM juga berimplikasi pada peraturan program JKK dan JKM. Saat ini ketentuan tersebut hanya ada pada peraturan tentang JKP, belum diatur dalam peraturan program JKK dan JKM, padahal iuran program JKP bersumber dari iuran program JKK dan JKM.
Ketentuan pendanaan program JKP juga harus ada dalam peraturan program JKK dan JKM karena terdapat ketentuan yang melarang melakukan subsidi silang antar program dan ada sanksi pidana apabila dilanggar.
Selain itu, ketentuan pendanaan program JKP dalam peraturan program JKK dan JKM bertujuan untuk menghindari terjadinya ketidakadilan bagi peserta yang tidak memenuhi kriteria menjadi peserta JKP.
Dengan adanya pendanaan program JKP dari iuran program JKK dan JKM, peserta yang tidak memenuhi kriteria menjadi peserta JKP membayar iuran program JKK dan JKM lebih besar dibandingkan peserta yang memenuhi kriteria menjadi peserta JKP.
Ketiga, penyelenggaraan manfaat JKP rentan terjadi fraud dan moral hazard, sehingga perlu ditetapkan persyaratan yang ketat agar pemberian manfaat JKP tepat sasaran.
Melihat permasalahan di atas, Pemerintah harus segera meninjau kembali program JKP dan mengawasi dengan ketat implementasinya. Jika tidak, keberlangsungan program JKP tidak akan bertahan lama, malah mengancam keberlangsungan program jaminan sosial lainnya.
*) Yulianti Martina adalah Penata Senior Pemantauan dan Pelaporan Aktuaria BPJS Ketenagakerjaan