Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Haji Yahya Cholil Staquf mengajak seluruh pihak bersedia duduk bersama dan mengungkap secara jujur akar persoalan yang dihadapi terkait peradaban dunia, terutama Islam, dan merumuskan solusinya.
"Seluruh pihak perlu mau duduk bersama, mengungkap secara jujur akar persoalan yang dihadapi, lalu merumuskan solusi bersama secara komprehensif," ujar Gus Yahya, sapaan akrab Kiai Yahya Cholil Staquf, saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi yang digelar The Oxford Union Society di Universitas Oxford, Inggris, Selasa (22/11), sebagaimana dikutip dari siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu.
Menurut ia, setelah runtuhnya Kerajaan Ottoman, komunitas Muslim di dunia menghadapi persoalan global yang cukup kompleks, di antaranya pertama, penggunaan istilah kafir kepada pemeluk agama yang berbeda.
Gus Yahya mengatakan terminologi tersebut sering kali secara politis digunakan sebagai dalih untuk melakukan kekerasan kepada pihak lain. NU pun, ujarnya, secara tegas menolak hal tersebut.
Problem identitas Muslim kafir harus diatasi dengan cara yang tidak boleh menimbulkan masalah baru, ucapnya.
Kedua, persoalan konsep syariah Islam. Menurut Gus Yahya, cara pandang baru terhadap konsep tersebut perlu dikembangkan.
Sejauh ini, Gus Yahya menilai konsep syariah sering kali dipahami sebagai sesuatu yang sudah selesai, padahal pengembangan pemikiran syariah Islam perlu dilakukan secara terus-menerus supaya ajaran Islam semakin relevan dengan kondisi dan kearifan masyarakat di seluruh dunia.
Berikutnya, persoalan ketiga adalah berkenaan dengan keberadaan berbagai konflik, baik antar-kelompok Islam maupun dengan pihak lainnya di dunia ini.
Untuk mengatasi berbagai konflik itu, Gus Yahya mengatakan perlu dimunculkan dialog dan upaya perdamaian guna meminimalisasi kehadiran beragam benturan.
Keempat, isu formalisasi negara Islam. Menurut Gus Yahya, kehidupan organisasi negara sangat bergantung pada pilihan terbaik dari masyarakat negara yang menjalaninya. Ia mengatakan Islam secara spesifik tidak menawarkan bentuk negara, tetapi memberikan nilai-nilai dasar universal yang bisa dijadikan rujukan dalam membangun relasi sosial di antara masyarakat negara.
Selanjutnya, Gus Yahya menyampaikan melalui pengalaman panjang Nahdlatul Ulama mengelola dan mengembangkan peradaban Islam di Indonesia, mereka memiliki kemampuan otoritatif sebagai representasi Islam untuk memberi penjelasan kepada masyarakat dunia.
Untuk mewujudkan hal tersebut, ucap dia, NU terus bekerja sama dengan berbagai tokoh dan organisasi agama di seluruh dunia.
"Salah satunya melalui pertemuan Religion 20 (R20) yang baru saja dilakukan di Bali, Indonesia," kata Gus Yahya.
Adapun The Oxford Union Society yang telah berdiri sejak tahun 1823 merupakan salah satu lembaga bergengsi di Universitas Oxford. Lembaga itu sering menghadirkan para pemimpin dan tokoh berpengaruh dunia, seperti Albert Einstein, Mother Theresa, Stephen Hawking, Michael Jackson, dan Bill Clinton.
Diskusi dalam bentuk debat terbuka itu dipandu oleh Presiden The Oxford Union Society Ahmad Nawas. Dalam kesempatan tersebut Gus Yahya didampingi Sekretaris PCNU Sleman, Yogyakarta M. Najib Yuliantoro dan asisten pribadi Ketum PBNU Ahmar Ghufron Siroj.