Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang masa penahanan para tersangka kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) untuk kepentingan penyidikan.
"Tim penyidik masih memperpanjang penahanan tersangka PAG (Priyo Andi Gularso) dan kawan-kawan untuk masing-masing selama 30 hari ke depan berdasarkan penetapan dari Pengadilan Tipikor," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Ali menerangkan perpanjangan masa penahanan terhitung sejak 14 Agustus 2023 sampai dengan 12 September 2023 di Rutan KPK.
Saat ini penyidik lembaga antirasuah masih melakukan penjadwalan pemanggilan saksi-saksi. Proses penydikan sampai saat ini masih berlangsung dalam rangka terpenuhinya kecukupan alat bukti untuk berkas perkara dari tersangka PAG dan kawan-kawan.
Pada Kamis (15/6), KPK menahan dan menetapkan 10 orang tersangka kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) tahun anggaran 2020 hingga 2022 di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Para tersangka ialah Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar/Subbagian Perbendaharaan Priyo Andi Gularso (PAG), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Novian Hari Subagio (NHS), dan staf PPK Lernhard Febian Sirait (LFS).
Selanjutnya, Bendahara Pengeluaran Christa Handayani Pangaribowo (CHP), PPK Haryat Prasetyo (HP), Operator SPM Beni Arianto (BA), Penguji Tagihan Hendi (H), Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai (PPABP) Rokhmat Annashikhah (RA), dan Pelaksana Verifikasi dan Perekaman Akuntansi Maria Febri Valentine (MFV), dan Bendahara Pengeluaran Abdullah (A).
Kasus tersebut berawal ketika Kementerian ESDM merealisasikan pembayaran belanja pegawai berupa tunjangan kinerja (tukin) dengan total sebesar Rp221.924.938.176 selama tahun 2020 hingga 2022.
Selama periode tersebut, para pejabat perbendaharaan serta pegawai lainnya di lingkup Bagian Keuangan Direktorat Jenderal Mineral Kementerian ESDM, yakni tersangka LFS dan kawan-kawan yang berjumlah 10 orang diduga telah memanipulasi dan menerima pembayaran tunjangan kinerja yang tidak sesuai ketentuan.
Proses pengajuan anggarannya diduga tidak disertai dengan data dan dokumen pendukung, serta melakukan sejumlah manipulasi, seperti pengondisian daftar rekapitulasi pembayaran dan daftar nominatif.
Tersangka PAG juga meminta LFS agar "dana diolah untuk kita-kita dan aman", kemudian "menyisipkan" nominal tertentu kepada 10 orang secara acak dan pembayaran ganda atau lebih kepada 10 orang yang telah ditentukan.
Akibat manipulasi tersebut, jumlah tunjangan kinerja yang seharusnya dibayarkan naik dari Rp1.399.928.153 menjadi Rp29.003.205.373.
Selisih pembayaran sebesar Rp27.603.277.720 tersebut diduga diterima dan dinikmati para tersangka dan digunakan untuk pemeriksa BPK RI sejumlah sekitar Rp1,035 miliar, dana taktis untuk operasional kegiatan kantor, keperluan pribadi seperti kerja sama umrah, sumbangan nikah, THR, pengobatan, serta pembelian aset berupa tanah, rumah, "indoor volley", mes atlet, kendaraan, serta logam mulia.
Akibat penyimpangan tersebut, negara mengalami kerugian sekitar Rp27,6 miliar.
KPK kemudian melakukan pemulihan aset dan hingga saat ini telah menerima pengembalian uang sebesar Rp5,7 miliar serta logam mulia seberat 45 gram dari para tersangka.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.