Pangkalpinang (ANTARA) - Teknologi informasi yang berkembang di zaman sekarang sangat berpengaruh terhadap kehidupan serta perilaku masyarakat di seluruh dunia. Keberadaan teknologi ini memberikan kemudahan untuk berinteraksi dan menyebarkan informasi bagi khalayak ramai.
Walaupun begitu manfaat yang didapat dalam penggunaan teknologi informasi ini sering digunakan oleh orang-orang untuk hal-hal negatif, seperti memposting kata-kata dalam bentuk hinaan, ujaran kebencian, dan penyebaran berita hoaks yang bisa merugikan pihak bersangkutan. Krisis etika dalam bermain media sosial kerap terjadi dalam komunikasi digital.
Istilah bullyyng tentunya tidak asing lagi di telinga kita, istilah ini mendeskripsikan dimana seseorang memperlakukan orang lain secara tidak baik dan menyakitkan. Bullying biasanya ditujukan untuk individu yang dinilai lebih lemah atau berbeda diantara individu lainnya.
Saat ini fenomena bullying semakin merambah hingga ke media sosial atau yang disebut sebagai cyber bullying. Cyber bullying adalah bentuk perundungan yang dilakukan secara daring (dalam jaringan) melalui pesan teks, pesan suara, ataupun gambar.
Adapun menurut Think Before Text, cyberbullying adalah perilaku agresif dan bertujuan yang dilakukan suatu kelompok atau individu, menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan perlawanan atas tindakan tersebut. Jadi, terdapat perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban. Perbedaan kekuatan dalam hal ini merujuk pada sebuah persepsi kapasitas fisik dan mental.
Fenomena bullying ini banyak terjadi di sekitar kita, termasuk di lingkungan sekolah bahkan perguruan tinggi. Menurut UNICEF (United Nations International Children's Emergency Fund), cyber bullying merupakan perilaku berulang yang ditujukan untuk menakuti, membuat marah atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran. Kasus cyber bullying yang ada di Indonesia merupakan kasus yang cukup tinggi.
Menurut hasil penelitian APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), terdapat 49 persen dari 5.900 responden yang menjadi korban dari cyber bullying. Tingginya angka ini dipicu oleh meningkatnya konsumsi penggunaan internet pada anak, serta kurangnya pengawasan dari orang tua.
Salah satu jenis cyber bullying yang marak terjadi di Indonesia adalah jenis flaming (amarah). Flaming merupakan tindakan seseorang dengan mengirimkan pesan teks atau komentar di platform media sosial yang berisikan kata-kata frontal untuk menyinggung orang lain.
Cyber bullying nyatanya lebih kejam dibandingkan dengan perundungan biasa. Bagaimana tidak, dampak cyber bullying tergolong dahsyat dan kejam karena mampu merusak mental serta psikologis sang korban.
Cyber bullying lebih mudah dilakukan dari pada kekerasan konvensional karena si pelaku tidak perlu berhadapan langsung dengan orang yang menjadi targetnya. Banyak sekali orang-orang yang dengan sengaja melakukan bullying terhadap orang yang tidak mereka kenal sebelumnya karena terprovokasi oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Cyber bullying yang terjadi di media sosial meninggalkan jejak berupa tulisan, foto ataupun video. Jejak digital ini sangat sulit untuk dihilangkan, sehingga dengan jangkauan yang luas ini membuat banyak orang dapat turut ikut untuk berkomentar.
Hal ini menyebabkan kesehatan fisik korban ikut terganggu, korban memiliki risiko yang lebih tinggi menderita stres atau depresi hingga membuat keinginan untuk bunuh diri karena rasa takut dan malu. Tidak hanya itu, korban bahkan bisa saja dikucilkan oleh lingkungan sekitarnya dan mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan karena postingan serta komentar-komentar bullying yang muncul di beranda.
Berbicara mengenai hukum bullying, khususnya tentang cyberbullying, di Indonesia belum ada aturan spesifik yang mengatur tentang kasus ini. Cyberbullying dalam konteks penghinaan yang dilakukan di media sosial diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016).
Pada prinsipnya, tindakan menunjukkan penghinaan terhadap orang lain tercermin dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
Adapun ancaman pidana bagi mereka yang memenuhi unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Ppenting untuk diingat bahwa hukuman tidak selalu menjadi cara paling efektif untuk mengubah perilaku pembullyan. Akan lebih baik untuk fokus memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dan mengubah hubungan menjadi lebih positif.
Perlunya membatasi diri dalam bermedia sosial, pintar memilah dan memilih informasi yang beredar, serta edukasi tentang etika dalam bersosial media perlu ditingkatkan agar fenomena Cyberbullying bisa segera teratasi, semua orang juga harus tahu bahwa segala tindak tanduk kegiatan kita dalam bermedia sosial bisa terekam dalam dunia digital dan sulit untuk dihilangkan.
Decia Rahmadini Prawira *) adalah mahasiswi dari Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Berita Terkait
Masih adakah peran akuntan di dalam majunya teknologi komputer akuntansi?
29 November 2024 11:12
Implikasi fenomena kotak kosong pilkada Babel terhadap sistem desentralisasi dan legitimasi
22 November 2024 16:01
Pertanian berkelanjutan, solusi ketahanan pangan Bangka Belitung di tengah krisis ekonomi
21 November 2024 18:16
HIV meningkat didominasi lelaki suka lelaki di Bangka Selatan, bagaimana solusinya?
18 November 2024 16:27
Korupsi timah Rp300 triliun: Bangka Belitung terancam, negara terguncang
15 November 2024 20:34
Memaknai pemanggilan dan pemberian keterangan dalam perspektif hukum pidana
14 November 2024 14:49