Pangkalpinang (ANTARA) - Fendi Haryono resmi menyandang gelar Doktor Hukum ke-245 di Universitas Trisakti setelah lulus dalam ujian promosi doktor program studi doktor ilmu hukum yang digelar di Kampus Trisakti pada Kamis (23/1).
Fendi Haryono berhasil meraih gelar doktor dengan hasil sangat memuaskan dan berhak menyandang gelar doktor dengan judul disertasi "Rekonstruksi regulasi energi baru terbarukan bidang biomassa untuk menjamin kepastian hukum investasi" dengan Co Promotor dan Penguji Dr. Wiratno.
Fendi Haryono berharap disertasinya dapat memberikan manfaat bagi kemajuan Indonesia khususnya di bidang Hukum Investor Energi Baru Terbarukan (EBT).
"Pada hari ini saya menyampaikan ringkasan disertasi Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah, termasuk sumber daya energi," ujar Fendi Haryono dalam keterangan yang diterima di Pangkalpinang, Kamis.
Menurutnya kekayaan tersebut sebenarnya merupakan modal untuk menjadi negara besar. Namun demikian, sampai saat ini, permintaan energi di Indonesia masih didominasi oleh energi yang tidak terbarukan/energi fosil sebesar 88,8 persen sedangkan pemanfaatan EBT masih rendah atau sekitar 11,2 persen dari keseluruhan.
Dengan kondisi tersebut, ketahanan energi Indonesia tentu menjadi sangat rentan terhadap gejolak yang terjadi di pasar global.
Fendi Haryono juga memaparkan berdasarkan perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), tanpa penemuan cadangan yang baru, minyak bumi di Indonesia akan habis dalam sembilan tahun kedepan, gas bumi akan habis 22 tahun lagi dan batubara akan habis 65 tahun mendatang.
"Oleh karena itu peralihan penggunaan energi fosil menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT) merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan," ujarnya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), investor energi baru terbarukan (EBT) kabur dari Indonesia sejak 5 tahun
terakhir dan selanjutnya berinvestasi di negara-negara tetangga Indonesia, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai hal tersebut terjadi karena rendahnya daya saing Indonesia dalam menarik Investor Energi Baru Terbarukan (EBT).
Fabby juga mengatakan investor yang masuk pada 2017 pun mayoritas keluar dari Indonesia di tahun 2020 dan selanjutnya berinvestasi di negara-negara tetangga Indonesia salah satunya Vietnam.
"Tidak dapat dipungkiri masih terdapat banyak tantangan dan hambatan bagi Investor untuk melakukan investasi EBT di Indonesia," jelasnya.
Sementara itu hasil pemeriksaan BPK RI terhadap efektivitas program peningkatan kontribusi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional menunjukkan masih adanya sejumlah permasalahan baik dari aspek kebijakan dan regulasi, penyediaan data yang akurat, aspek finansial untuk pengembangan EBT bagi investor swasta dan aspek penyediaan teknologi dan infrastruktur untuk mendukung investasi swasta di sektor EBT.
Keberadaan aturan mengenai EBT yang dilihat belum jelas dan memadai di Indonesia, membuat investor ragu untuk mengambil keputusan. Padahal bisnis pembangunan dan pengembangan EBT di Indonesia terbilang baru ada risiko tinggi di kemudian hari yang mungkin akan ditanggung investor.
Para investor negara maju sering mengeluh, Indonesia belum mempunyai UU yang mengatur pemanfaatan EBT, khususnya tenaga biomassa. Pengaturan setingkat permen saja tidak cukup untuk mencegah risiko dan kerugian yang mungkin mereka hadapi di masa depan.
Dari segi investasi, disharmonisasi regulasi yang diterbitkan Kementerian ESDM sendiri maupun disharmonisasi regulasi yang bersifat lintas sektoral, merupakan, salah satu faktor penghambat upaya peningkatan investasi di bidang energi baru dan terbarukan.
"Itu saran saya kepada pemerintah dalam menyusun UU Energi Baru dan Energi Terbarukan ini," tutupnya.