Pangkalpinang (ANTARA) - Tujuan Pembangunan desa sebagaimana yang amanatkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Dalam pengertian ini bahwa tujuan utama dalam pembangunan desa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia termasuk penanggulangan kemiskinan dengan mengoptimalkan berbagai potensi yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, mengembangkan berbagai potensi ekonomi lokal, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang dimiliki secara berkelanjutan. Kebutuhan dasar dimaksud antara lain adalah kebutuhan yang diperlukan oleh manusia untuk mempertahankan kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan secara umum, termasuk hal-hal seperti kebutuhan pangan, air bersih, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan layanan Kesehatan dan kebutuhan esensial lainnya bagi kehidupan manusia dan memastikan bahwa individu dapat hidup secara layak dan produktif.
Pembangunan sarana dan prasarana desa adalah upaya untuk meningkatkan infrastruktur dan fasilitas yang ada di wilayah pedesaan. Hal ini termasuk pembangunan jalan, sistem air bersih, sanitasi, listrik, transportasi, sekolah, klinik kesehatan, pasar, dan fasilitas umum lainnya. Tujuan dari pembangunan sarana dan prasarana desa adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk desa, memperkuat ekonomi lokal, dan meningkatkan aksesibilitas terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Pengembangan potensi ekonomi lokal adalah upaya untuk mengidentifikasi, memanfaatkan, dan meningkatkan sumber daya ekonomi yang ada di desa. Hal ini termasuk mengembangkan industri lokal, pertanian, pariwisata, kerajinan tangan, dan sektor-sektor lain yang dapat memberdayakan masyarakat setempat yang bertujuan untuk memperkuat ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan penduduk, dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya ekonomi dari luar wilayah. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan dalam pembangunan desa adalah pendekatan yang mengutamakan penggunaan sumber daya alam dan lingkungan secara bijaksana, sehingga dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Dalam upaya pengembangan potensi ekonomi lokal, Desa wisata menjadi salah satu alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan, mengingat Indonesia memiliki 75.265 Desa dengan beragam potensi alam, suku, agama, budaya dan kearifan lokal lainnya. Desa Wisata dapat dimaknai sebagai desa yang memiliki potensi keunikan dan daya tarik wisata yang khas, baik berupa karakter fisik lingkungan alam pedesaan maupun kehidupan sosial budaya kemasyarakatannya. Lantas potensi tadi dikelola dan dikemas secara menarik dan alami dengan pengembangan fasilitas pendukung wisatanya, dalam suatu tata lingkungan yang harmonis dan pengelolaan yang baik dan terencana sehingga siap untuk menerima dan menggerakkan kunjungan wisatawan ke desa tersebut, serta mampu menggerakkan aktivitas ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat setempat.
Menurut data Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, paling tidak saat ini tidak kurang dari 6.000 Desa Wisata yang dikelola oleh BUMDesa dengan segala dinamikanya. Ada yang telah menunjukkan keberhasilannya dengan mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat desa, namun banyak juga yang masih tertatih-tatih dalam perkembangannya yang belum dapat menunjukkan hasil yang optimal. Berbagai faktor yang menjadi penyebab kondisi desa wisata seperti ini:
- Kurangnya koordinasi antara pemangku kepentingan yang ditandai tidak adanya sinergi yang jelas antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan sektor swasta. Program pengembangan sering berjalan sendiri-sendiri tanpa ada integrasi yang baik yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar stakeholder yang sulit disatukan.
- Rendahnya partisipasi masyarakat Lokal yang disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang manfaat jangka panjang dari desa wisata. Adanya rasa skeptis atau ketidakpercayaan terhadap program pemerintah atau investor luar. Kurangnya kepemilikan dan inisiatif dari masyarakat dalam pengelolaan wisata.
- Terbatasnya sumber daya dan pendanaan baik yang bersumber dari anggaran pemerintah ataupun sulitnya akses masyarakat terhadap pendanaan ke pihak lain. Minimnya investasi dari pihak swasta karena dianggap kurang menguntungkan dalam jangka pendek. Tidak adanya mekanisme pembagian keuntungan yang adil antara pemangku kepentingan.
- Kurangnya kapasitas dan keterampilan SDM yang disebabkan oleh minimnya pelatihan dalam manajemen wisata, pemasaran digital, dan hospitality. Tidak adanya transfer pengetahuan dan teknologi yang efektif antar stakeholder. Ketergantungan pada pihak luar tanpa adanya peningkatan kapasitas lokal.
- Konflik kepentingan dan kepemilikan seperti persaingan antar kelompok masyarakat dalam memanfaatkan peluang wisata, ketidaksepakatan dalam pembagian manfaat dan pengelolaan aset wisata dan adanya pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan.
- Regulasi dan kebijakan yang tidak sinkron seperti kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan tidak konsisten, peraturan yang tumpang tindih antara tingkat desa, daerah, dan nasional dan proses perizinan yang birokratis dan menghambat inovasi dalam pengembangan wisata.
- Ketidakseimbangan antara pelestarian alam dan pengembangan wisata sehingga eksploitasi lingkungan akibat pariwisata massal yang tidak terkontrol dan mengabaikan prinsip berkelanjutan.
Pengembangan desa wisata tidak bisa lakukan sendiri, namun harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, agar persoalan diatas dapat diselesaikan dan memiliki dampak yang berkelanjutan sehingga kemandirian desa bisa diwujudkan.
Pendekatan Pentahelix dalam pengembangan Desa Wisata berkelanjutan.
Dalam persepktif collaborative governance, dikenal pendekatan pentahelix. Pendekatan pentahelix adalah sebuah model kolaborasi yang melibatkan lima elemen utama dalam pembangunan dan inovasi yaitu pemerintah, akademisi, pelaku usaha, masyarakat (komunitas), dan media. Model ini digunakan dalam berbagai bidang, seperti pembangunan berkelanjutan, pengembangan ekonomi, pariwisata dan inovasi teknologi, dengan tujuan menciptakan solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan melalui kerja sama lintas sektor. Melalui pendekatan ini maka akan memperoleh kemanfaatan yang optimal dari setiap proses pembangunan seperti meningkatnya kolaborasi lintas sektor, mempercepat implementasi inovasi, menghasilkan kebijakan yang berbasis riset dan kebutuhan nyata, meningkatkan transparansi dan keberlanjutan program. Dalam bidang kepariwisataan, model pentahelix diperkenalkan melalui Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016. Dalam peraturan Menteri tersebut dijelaskan bahwa tujuan penerapan model pentahelix ini adalah untuk menciptakan orkestrasi dan memastikan kualitas aktivitas, fasilitas, pelayanan, serta menciptakan pengalaman dan nilai manfaat kepariwisataan agar memberikan keuntungan dan manfaat pada masyarakat dan lingkungan.
Pengembangan desa wisata diharapkan mampu menopang sebagai upaya meningkatkan perekonomian desa sehingga tercipta kemandirian desa. Suatu desa dapat dikatakan sebagai desa wisata jika memiliki kriteria minimal ; memiliki potensi keunikan dan daya tarik wisata yang khas sebagai atraksi wisata, memiliki dukungan dan kesiapan fasilitas pendukung kepariwisataan terkait dengan kegiatan wisata pedesaan, memiliki interaksi dengan wisatawan, dan adanya dukungan, inisiatif dan partisipasi masyarakat setempat. Oleh karena itu pengembangan desa wisata tidak bisa hanya dilakukan sendiri, karena pengembangan desa wisata, tidak hanya menghadirkan wisata di desa tapi bagaimana masyarakat desa ikut terlibat secara aktif dalam proses pengembangan desa wisata itu sendiri, sehingga memperoleh kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, baik kemanfaatan langsung karena terlibatannya maupun tidak langsung sebagai multiplayer effect atas hadirnya desa wisata.
Sebagaimana diuraikan di atas, pengembangan desa wisata masih banyak menghadapi kendala baik internal pemerintah desa sendiri maupun eksternal yang sangat mempengaruhi keberhasilan desa wisata. Seringkali desa wisata berjalan hanya atas inisiasi dari pemerintah desa sehingga masyarakat merasa kurang memiliki atau bahkan apatis terhadap keberadaan desa wisata di desanya. Pemerintah supra desa juga sering asyik dengan kebijakannya sendiri yang kurang mendukung atas lahirnya desa wisata yang sedang berkembang di daerahnya. Kebijakan dan regulasi yang dibuat kurang mendukung atas keberadaan desa wisata, yang berdampak seolah desa wisata berjalan sendiri. Konsepsi desa wisata juga sering berjalan autodidak tanpa perencanaan yang matang melalui kajian akademik. Demikian juga soal dukungan pendanaan sering menghadapi kendala karena minimnya peran dunia usaha/investor untuk mendukung program tersebut. Sebagus apapun desa wisata tanpa publikasi, branding dan marketing juga tidak akan berjalan optimal. Karena itu peran media massa sangat dibutuhkan dalam pengembangan desa wisata.
Pendekatan pentahelix sangat diperlukan dalam upaya pengembangan desa wisata agar tercipta orkestrasi dari seluruh pemangku kepentingan dan sekaligus mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Paling tidak ada 6 dimensi yang bisa dilihat atas keberhasilan kolaborasi, yaitu lingkungan yang melingkupi, tingkat kesadaran dalam keanggotaan berkolaborasi, proses dalam berkolaborasi, komunikasi, tujuan dan sumber daya yang cukup untuk kolaborasi.Orkestrasi memang tidak mudah dilakukan ketika belum terjadi kesepahaman untuk menciptakan keuntungan atau kemanfaatan bersama. Karena itu perlu membangun trust untuk saling menghormati, memahami dan saling percaya. Di sinilah peran penting pemimpin kolaboratif, hal ini bisa dilakukan oleh kepala desa, Ketua Bumdes, atau pemimpin supra desa. Kepala Desa harus memiliki kesadaran yang tinggi sebagai pemimpin kolaboratif yang akan mengkomunikasikan dengan para pemangku kepentingan dalam pentahelix. Kemampuan meyakinkan akan manfaat bersama kolaborasi, bahwa setiap elemen akan mendapatkan kemanfaatan dari pengembangan desa wisata. Karenanya setiap pengambilan keputusan, harus dikomunikasikan, disepakati, transparan, dan mendorong untuk tercapainya tujuan dan sasaran yang nyata. Kemudian bagaimana semua pemangku kepentingan dapat mencurahkan sumber daya cukup guna mencapai keberhasilan dari kolaborasi yang dibangun.
Pemerintah (supra desa) sangat diharapkan dalam perannya sebagai regulator dan pengambil kebijakan yang mendukung pengembangan desa wisata. Namun bukan berarti mendekte atas kebijakannya, tetapi melakukan komunikasi yang terorkestrasi sehingga regulasi dan kebijakan yang dikembangkan adalah mendukung program desa wisata dan sekaligus mencarikan solusi atas kendala yang dihadapi, baik dari aspek jejaring, permodalan, aturan yang menghambat dan lain sebagainya. Selain itu, pemerintah supra desa juga harus meletakkan desa wisata sebagai satu kesatuan kewilayahan atau Kawasan, Desa mana yang menjadi pusat wisata dan desa-desa mana yang mampu memberi dukungan atau ikut menerima manfaat dan mengelolanya dengan sinergis.
Dunia usaha sebagai mitra yang mengembangkan usaha tentu tidak bisa diabaikan perannya dalam mendorong desa wisata. Yang harus dibangun trust adalah para pelaku usaha juga akan mendapatkan kemanfaatan atas hadirnya desa wisata, sehingga memiliki keyakinan untuk menginvestasikan modalnya atau bermitra dengan desa wisata.
Akademisi sebagai Lembaga yang memiliki kompetensi di bidang ilmu pengetahuan harus digandeng sebagai mitra yang dapat mengimplementasikan perencanaan desa wisata, peningkatan kompetensi SDM, dan pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sehingga desa wisata dibangun tidak autodidak atau insting, tetapi didasarkan atas kajian potensi dan kelayakan serta rencana pengembangan dengan memperhatikan potensi dan sumber daya yang dimiliki.
Masyarakat juga harus diberdayakan dalam pengembangan desa wisata, mereka dapat berperan langsung dalam pengelolaan desa wisata seperti di bidang kuliner, homestay, atraksi budaya, transportasi lokal ataupun dalam mendukung pengembangan desa wisata misalnya mengembangkan produk kerajinan tangan, oleh-oleh khas setempat, menjaga kelestarian alam dan budaya, kebersihan, keamanan dan kenyamanan wisatawan. Karena itu peran LSM, volunteer, local champion sangat memberikan dukungan agar tercipta ekosistem desa wisata yang sehat dan mendapat dukungan dari masyarakat. Mereka dapat melakukan pendampingan dalam pemberdayaan dan pelatihan, edukasi, capacity building dan advokasi, bahkan promosi dan jaringan kemitraan melalui berbagai media atau kelembagaan lain pada tingkat lokal, regional, nasional bahkan internasional.
Dalam konsep pentahelix, media massa menjadi alat strategis dalam mempercepat pengembangan desa wisata melalui promosi, edukasi, advokasi, dan kontrol sosial. Media massa berperan sebagai jembatan informasi yang menghubungkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat. Melalui media massa, pengelola desa wisata dapat membangun citra positif melalui publikasi, promosi dan peningkatan branding desa wisata, mengedukasi untuk membangun masyarakat dalam sadar wisata, menghubungkan investor dan pelaku wisata, dan mendukung strategi pemasaran digital melalui platform digital. Dengan dukungan media, desa wisata dapat lebih dikenal, mendapatkan investasi, serta mengembangkan ekosistem pariwisata yang berkelanjutan dan berbasis komunitas.
Kesimpulan
Keberhasilan pengembangan desa wisata sangat dipengaruhi oleh tingkat penerimaan dan dukungan masyarakat lokal. Karena masyarakat lokal berperan sebagai subyek dan menjadi pelaku utama dalam pengembangan desa wisata dalam keseluruhan tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Meski demikian, masyarakat lokal cenderung memiliki keterbatasan pengetahuan, jejaring, SDM, akses permodalan dan kemitraan dengan pihak lain. Kehadiran pendekatan pentahelix yang melibatkan unsur pemerintah, swasta ( investor), LSM (komunitas), akademisi dan media massa adalah alternatif pendekatan terbaik agar desa wisata memiliki keberlanjutan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian desa.
*) Penulis adalah Penjabat (Pj) Gubernur Kepulauan Bangka Belitung