Pangkalpinang (ANTARA) - Lembaga Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa Alobi Kepulauan Bangka Belitung menyebutkan penambangan bijih timah ilegal yang marak di Kepulauan Babel memicu konflik antara buaya dengan manusia di daerah produsen terbesar di Indonnesia itu.
"Tambang timah ilegal tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup satwa endemik dan memicu terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar khususnya buaya," kata Manager PPS Alobi Air Jangkang Endy R. Yusuf di Pangkalpinangm Senin.
Ia menyatakan penambangan bijih timah ilegal ini beroperasi tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan. Penebangan hutan, pengerukan sungai menyebabkan degradasi habitat alami satwa liar.
Bahkan hutan mangrove dan kawasan pesisir yang menjadi tempat hidup dan berkembang biak bagi buaya muara semakin menyusut, memaksa satwa ini keluar mencari habitat baru yang sering kali berujung pada interaksi dengan manusia.
"Konflik antar buaya dan manusia yang sering terjadi di Bangka Belitung bahkan merenggut korban, belasan kasus tercatat pada tahun lalu," katanya.
Ia menyatakan selain buaya, spesies lain seperti tarsius juga terdampak. Hilangnya tutupan vegetasi mengurangi sumber makanan dan tempat berlindung, mengganggu rantai makanan dan merusak keseimbangan ekosistem yang sudah terbentuk secara alami.
"Ekosistem satwa terganggu karena masifnya aktivitas tambang timah ilegal, tidak heran jika hewan-hewan endemik Babel terganggu dan terpaksa mencari habitat baru yang kadang bersamaan dengan lokasi aktivitas manusia," katanya.
Menurut dia perubahan ini menciptakan ancaman keselamatan bagi masyarakat sekaligus menempatkan buaya dalam risiko pembunuhan akibat tindakan defensif warga.
"Ekosistem yang terganggu akibat tambang ilegal menyebabkan satwa-satwa ini mencari habitat baru. Habitat baru inilah yang kadang bersinggungan dengan tempat manusia, sering orang bilang dulu di situ enggak ada buaya tapi sekarang ada buaya. Ini karena habitatnya terganggu," ujarnya.
Ia menyatakan konflik ini menjadi bukti nyata bahwa rusaknya habitat alami mendorong satwa liar semakin dekat dengan manusia. PPS Alobi sering merescue buaya yang ditangkap waraga untuk dibawa ke PPS Alobi Air Jangkang.
"Hanya saja belum ada jalan keluar atas persoalan ini, mereka juga terbatas tempat untuk menampung para buaya. Padahal buaya merupakan salah satu satwa yang dilindungi," ujarnya.
Ia menyebutkan Bangka Belitung memang masih membutuhkan sektor pertambangan untuk menggerakkan ekonomi masyarakat, tapi pertambangan harus dilakukan dengan menggunakan prinsip good mining practice (GMP), melakukan pemulihan lahan, mereklamasi lahan bekas tambang.
"Pertambangan harus dilakukan dengan berwawasan lingkungan, menerapkan prinsip good mining practice, melakukan konservasi dan juga menjalankan fungsi reklamasi sehingga ekosistem bisa tetap terjaga," katanya.
Ia menambahkan untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan sinergi antara pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat. Penegakan hukum terhadap tambang ilegal harus diperketat, disertai dengan program rehabilitasi lahan dan restorasi ekosistem sungai.
"Upaya konservasi satwa liar juga perlu ditingkatkan, misalnya dengan mendirikan kawasan konservasi baru dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam," ucapnya.
Ia menyatakan perusahaan pertambangan yang legal seperti PT Timah, dapat menjadi contoh dalam menerapkan praktik tambang berkelanjutan dan berkontribusi pada pelestarian lingkungan. Keterlibatan aktif perusahaan dalam program penanaman kembali, penyelamatan satwa, dan edukasi lingkungan akan menjadi langkah penting untuk memperbaiki ekosistem yang sudah rusak.
"Memulihkan ekosistem yang rusak memang membutuhkan waktu dan usaha besar, tetapi dengan kolaborasi yang kuat, alam bisa kembali seimbang. Menghentikan tambang ilegal dan memprioritaskan konservasi bukan hanya tentang melindungi satwa, tetapi juga memastikan generasi mendatang dapat hidup berdampingan dengan kekayaan alam yang menjadi identitas Bangka Belitung," demikian Endy.