Jakarta (ANTARA Babel) - Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Prof
(Phil) Kamaruddin Amin menyatakan pendidikan di pesantren adalah
alternatif pendidikan terbaik saat ini, karena meski sebagai lembaga
dakwah dan pendidikan, pesantren sangat mungkin memberikan kompetensi
keterampilan lain.
Keterangan tertulis dari Kementerian Agama yang diterima di
Jakarta, Senin menyebutkan, pernyataan Dirjen Pendidikan Islam itu
dikemukakan dalam kegiatan "Evaluasi Program Pengembangan Pesantren
Maritim" di Serpong, Tangerang, Jawa Barat akhir pekan lalu.
Menurut Prof Kamaruddin, para santri sangat mungkin diberikan
tambahan kompetensi berupa keterampilan lain atau keterampilan khusus
karena sistem pendidikan di pesantren berlangsung 24 jam.
Tambahan kompetensi keterampilan itu sangat penting, sebab tidak
semua lulusan pesantren menjadi ulama atau ustadz. Mereka bisa dibekali
dengan beragam keterampilan seperti agribisnis, teknologi informasi
(IT), dan kemaritiman.
Dalam upaya mewujudkan pendidikan tambahan itu, ada dua hal yang
harus dilakukan. Pertama, pesantren harus merevitalisasi dirinya menjadi
pendidikan yang cocok atau "match" dengan industri. Kemana
kecenderungan industri mendatang, pendidikan di pesantren harus
dikembangkan mendukung "trend" tersebut.
Kedua, pesantren harus bisa bersinergi dengan lembaga keuangan
dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pesantren perlu bisa
membaca kemana arah investasi, sehingga bisa memperiapkan SDM ke arah
itu.
Kerja sama
Sementara itu dari sisi kebijakan,
Kementerian Agama harus bekerja sama dengan berbagai kementerian lainnya
dalam mengembangkan pesantren. Nota Kesepahaman (MoU) dengan beberapa
kementerian dan instansi perlu direvitalisasi.
Dalam hubungan ini, Kemenag akan lebih proaktif bekerja sama dan
berdiskusi dengan kementerian-kementerian lainnya, dengan harapan
beragam kerja sama tersebut dapat direfleksikan secara nyata dalam
bentuk tersedianya anggaran.
Dirjen Pendidikan Islam juga mengemukakan, jumlah pesantren
secara nasional saat ini mencapai 28.961 unit dengan 322.328 tenaga
pendidik dan 4.028.660 peserta didik (santri).
Dari jumlah pesantren seperti itu, sebanyak 15.057 (51,99 persen)
hanya menyelenggarakan pengajian kitab saja (tradisional), sedangkan
sisanya sebanyak 13.904 (48.01 persen), selain menyelenggarakan
pengajian, juga memberikan layanan pendidikan lainnya (modern).
Ada pun syarat terpenuhinya sebagai pesantren adalah memiliki
lima unsur, yaitu ada kiayi, santri, asrama (pondok), tempat ibadah
(mushola atau masjid) dan pengajian kitab kuning. Jika salah satu unsur
tidak ada, maka belum bisa disebut sebagai pesantren.
Selain itu, menurut Prof Kamaruddin, saat ini identitas kesantrian
berupa kopiah dan sarungan bukan lagi merupakan identitas marjinal,
namun sudah menjadi komunitas yang bergengsi.
Ia menambahkan, kondisi lembaga pendidikan saat ini mengalami
tantangan diskoneksitas signifikan berupa terjadinya keterputusan dan
ketidaksambungan antara yang dipelajari di sekolah dengan persoalan yang
terjadi di masyarakat. Akibatnya, terjadi pengangguran banyak lulusan
sarjana.
Hal yang sama terjadi pada level sekolah menengah kejuruan (SMK)
dan madrasah aliyah kejuruan (MAK). Ternyata tingkat tidak terserapnya
tenaga kerja lulusan SMK dan MAK lebih tinggi ketimbang lulusan SMA dan
Aliyah.
Fakta itu terjadi karena tidak matchnya antara apa yang diajarkan
oleh guru dengan tantangan di masyarakat saat ini. Problem itu terjadi
akibat guru yang mengajar adalah alumnus jurusan kependidikan dan bukan
lulusan dari politeknik dengan bidang ilmu yang sesuai dengan yang
dibutuhkan di masyarakat.
"Guru hanya memahami paedagogi, namun tidak menguasai konten
materi secara maksimal. Oleh sebab itu, tantangan pendidikan sekarang
adalah bagaimana mengoneksikan antara dunia pendidikan dengan dunia
industri," kata Prof Kamaruddin.