Pangkalpinang (ANTARA) - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri pada tahun 1947 sebagai respons terhadap kebutuhan zaman yang sedang bergejolak. Di tengah Indonesia yang baru merdeka, HMI tampil sebagai wadah pembentukan insan-insan muda Muslim yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tajam secara nurani.
Namun ketika kita bicara tentang HMI hari ini, terutama dari perspektif kader, pertanyaan mendasar mulai bermunculan: ke mana arah idealisme yang dahulu menjadi fondasi? Mengapa pragmatisme seakan menjadi wajah baru yang tak lagi asing dalam tubuh organisasi ini?
Zaman boleh berganti, tantangan boleh berubah. Tapi nilai tak semestinya ikut pudar. Hari ini, kader HMI sering dihadapkan pada realitas dilematis: antara mempertahankan idealisme perjuangan atau menyerah pada kepentingan jangka pendek.
Dialektika ini terasa nyata dalam dinamika internal perkaderan maupun gerakan. Di satu sisi, HMI selalu menekankan pentingnya nilai keislaman dan keindonesiaan, di sisi lain sebagian kadernya justru mulai menjauh dari semangat itu terjebak pada formalitas dan kepentingan jabatan semata.
Salah satu titik lemah yang mencolok adalah dalam proses perkaderan. Banyak forum kaderisasi kini hanya menjadi ajang administratif yang kering dari gagasan.
Diskusi-diskusi berjalan, tapi tak menyentuh akar. Buku-buku besar karya tokoh Islam atau pemikir Indonesia modern seperti Nurcholish Madjid, Ali Shariati, atau bahkan Buya Hamka, hanya menjadi kutipan tanpa pemahaman mendalam.
Hal ini mengonfirmasi bahwa idealisme sebagai nilai perjuangan mulai memudar dari ruang-ruang pembentukan kader. Padahal seperti kata Nurcholish Madjid (1999), “Gerakan intelektual Islam adalah gerakan pencerahan, bukan sekadar pengulangan slogan.”
Pragmatisme mulai mengakar ketika orientasi ber-HMI bergeser dari being (menjadi) ke having (memiliki). Artinya, sebagian kader lebih tertarik untuk “memiliki” jabatan, akses, atau pengaruh, dibanding menjadi pribadi yang bertumbuh secara ideologis.
Banyak yang menganggap HMI hanya sebagai batu loncatan politik, bukan rumah perjuangan yang dibangun di atas nilai dan integritas. Fenomena “kader instan” yang hanya muncul saat kongres atau musyawarah cabang memperjelas ini. Mereka hadir bukan untuk membangun gerakan, melainkan untuk menjajakan kepentingan.
Hal ini bukan hanya masalah individu, tetapi juga sistemik. Dalam banyak kasus, sistem kaderisasi tidak memberi ruang cukup bagi kader untuk berpikir bebas dan kritis.
Pola “doktrinisasi” kadang lebih dominan ketimbang pembebasan, sebagaimana diajarkan Paulo Freire dalam konsep pedagogi kritis-nya (Freire, 2005). Maka tidak mengherankan jika kader hari ini lebih banyak meniru ketimbang mencipta, lebih nyaman patuh ketimbang bertanya, dan lebih fokus pada struktur ketimbang substansi.
Namun, tidak semua gelap. Masih banyak kader di berbagai komisariat yang gigih membangun basis intelektual, terjun ke masyarakat, dan membawa nilai Islam dalam kerja nyata. Mereka ini adalah nyala-nyala kecil yang menolak padam, bahkan ketika organisasi dilanda arus besar pragmatisme. Di tangan mereka, HMI tetap hidup sebagai ruang pergerakan dan pengabdian.
Sudah saatnya kita kembali menghidupkan idealisme kader HMI dengan cara yang lebih substansial. Mulai dari membenahi pola perkaderan, memperkuat basis bacaan, memperluas medan gerakan ke isu-isu keumatan dan kebangsaan, serta menjadikan nilai-nilai Islam sebagai inspirasi tindakan, bukan sekadar simbol. Seperti kata Haidar Bagir (2020), “Keislaman harus menjadi jalan transformasi, bukan hanya identitas yang dibanggakan.”
Di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak seluruh kader HMI untuk berhenti sejenak,merenung, dan bertanya pada diri sendiri: "Apakah saya benar-benar sedang berjuang, atau hanya sedang bermain peran dalam panggung organisasi?" Jika kita tak menjawab dengan jujur hari ini, maka sejarah akan menjawabnya dengan kejam esok hari.
Kita tak sedang kehilangan kader, kita hanya kehilangan kesadaran kader. Maka bangkitlah, sebelum idealisme benar-benar jadi kenangan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, HMI Cabang Bulaksumur