Ubud (Antara Babel) - Pada awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikritisi atas sikapnya yang terkesan tidak memprioritaskan kebijakan luar negeri.
Anggapan tersebut bukan tanpa alasan karena mantan wali kota Surakarta itu lebih menaruh perhatian pada pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan kesejahteraan rakyat.
Jokowi dalam Nawacita poin pertama menegaskan misinya menghadirkan negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya, pembangunan pertahanan dilandasi kepentingan nasional, dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Poin tersebut menjelaskan bahwa Presiden Jokowi menggunakan politik luar negeri sebagai usaha untuk meningkatkan ketahanan nasional dan mewujudkan agenda pembangunan.
Jurnalis sekaligus Direktur Utama LKBN Antara Meidyatama Suryodiningrat berpendapat bahwa Indonesia hanya akan dianggap oleh dunia karena tiga hal yakni demokrasi yang terus berkembang, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta upaya membina hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar.
Mengingat dua dari tiga syarat tersebut terkait dengan perkembangan domestik, maka tidak heran jika pemerintah saat ini memprioritaskan kebijakan luar negeri untuk agenda nasional seperti diplomasi ekonomi untuk meningkatkan investasi, penguatan integritas teritorial, dan perlindungan WNI.
Dimas, demikian sapaan karib Meidyatama, mengatakan sejak awal seharusnya masyarakat menyadari bahwa Jokowi bukanlah ahli politik luar negeri, sehingga kelemahannya untuk mengangkat nama Indonesia dalam forum-forum internasional tidak perlu menjadi perdebatan.
Yang penting Presiden tetap setia menjaga prinsip politik luar negeri bebas aktif dan sudah melaksanakan sesuai Nawacita pertama, pria yang pernah menjadi asisten peneliti bidang hubungan internasional di Harvard University, Amerika Serikat itu mengatakan dalam salah satu sesi Konferensi Kebijakan Luar Negeri Indonesia yang diselenggarakan FPCI baru-baru ini.
Praktik demokrasi ekonomi yang menjadi basis politik luar negeri pada era Jokowi ditunjukkan dengan partisipasinya dalam forum APEC, KTT ASEAN, dan KTT G-20. Presiden menggunakan forum-forum tersebut untuk menarik investasi asing, membuka pasar luar negeri dan mengundang lebih banyak turis asing ke Tanah Air.
Untuk menyukseskan misi ini pula, perwakilan-perwakilan RI diminta ikut memasarkan produk Indonesia di luar negeri.
Saat ini, Indonesia juga sedang menggerakkan sejumlah perundingan ekonomi penting antara lain Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), Free Trade Agreement (FTA), Preferential Trade Agreement (PTA), serta akan memulai perundingan Bilateral Investment Treaty (BIT).
Dari sisi perlindungan WNI, prestasi Kementerian Luar Negeri di bawah kepemimpinan Menlu Retno LP Marsudi pun tidak kalah membanggakan.
Dalam "Laporan 3 Tahun Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla", Kemlu mencatat dalam kurun waktu 2015-2017 sebanyak 25.620 kasus hukum yang dihadapi WNI berhasil diselesaikan dan 1.035 tindak pidana perdagangan orang berhasil diatasi.
Kemlu juga berhasil membebaskan 29 WNI korban penyanderaan dan menyelamatkan 204 WNI yang terancam hukuman mati.
Sebanyak 142.733 TKI yang sebagian besar melakukan pelanggaran imigrasi, juga telah dipulangkan ke Tanah Air.
Sedangkan dalam bidang pertahanan dan keamanan, Indonesia secara tegas menyatakan kedaulatannya melalui visi poros maritim dunia. Secara berkesinambungan pemerintah Indonesia berupaya menjadikan laut sebagai tonggak pembangunan dengan memerangi praktik penangkapan ikan ilegal.
Pemerintah juga mengatakan tidak memiliki tumpang tinggi kepemilikan wilayah Laut China Selatan dengan China. Kedua negara justru mendorong kerja sama antara Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla) untuk mencegah potensi konflik sekaligus kerja sama antara Bakamla dan penjaga pantai Tiongkok (CCG).
Lebih berperan
Meskipun politik luar negeri Jokowi membawa hasil penting/ signifikan secara nasional, banyak pihak diantaranya para pakar politik luar negeri mengharapkan lebih banyak peran Presiden dalam bidang diplomasi.
Associate professor bidang politik dan hubungan internasional Unika Atma Jaya Dinna Wisnu menjelaskan bahwa diplomasi mencakup aspek membangun rasa percaya untuk mengembangkan hubungan dan intelektualitas untuk melihat arah kebijakan negara lain menyangkut hal-hal yang sifatnya bilateral atau mempunyai efek jangka panjang bagi Indonesia.
Dalam hal ini, diplomasi tidak bisa hanya dilihat sebagai instrumen untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri.
Menurut Dinna, ada hal-hal khusus dalam diplomasi yang hanya bisa dilakukan oleh Presiden terutama untuk mengambil langkah antisipatif atas kebijakan negara lain yang berpengaruh bagi Indonesia.
Sependapat dengan Dinna, Profesor pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dewi Fortuna Anwar mengkritisi pudarnya peran Indonesia untuk ikut mewujudkan perdamaian dunia---seperti yang diamanatkan konstitusi.
Absennya Presiden Jokowi dalam tiga kali berturut-turut Sidang Majelis Umum PBB dianggap Dewi tidak dapat diterima mengingat saat ini Indonesia sedang berjuang menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Selain itu, isu kevakuman kepemimpinan di ASEAN juga mencuat karena Indonesia sebagai negara yang kepemimpinannya diakui secara alami kurang mampu merepresentasikan ASEAN dalam forum-forum multilateral.
Tantangan
Karena cenderung menitikberatkan kebijakan luar negeri untuk urusan perdagangan dan investasi, Dewi mengingatkan Presiden Jokowi bahwa "tidak ada makan siang yang gratis dalam hubungan internasional".
Ungkapan tersebut mengacu pada fakta bahwa saat Indonesia gencar menjalin kerja sama ekonomi dengan kekuatan besar, pada masa lalu dengan Amerika Serikat dan kini dengan China, selalu akan ada risiko pada dimensi keamanan dan politik.
Indonesia harus sangat sadar bahwa sebuah negara berpotensi terjebak dalam hubungan yang asimetris. Karena itu, Indonesia harus berhati-hati agar tidak bergantung kepada negara lain karena akan merusak ekonomi strategis, itulah contoh buruk yang terjadi di Kamboja, mantan anggota Dewan Penasihat PBB tentang Perlucutan Senjata itu berkata.
Di sisi lain, fokus Indonesia dalam mengelola hubungan dengan negara-negara besar seperti Jepang, AS, dan China, bisa berpotensi menjadi bumerang bagi keutuhan NKRI.
Kepala Program Sarjana Jurusan Hubungan Internasional Univesitas Indonesia Shofwan Al Banna mengingatkan pemerintah Indonesia untuk tidak lupa memelihara hubungan dengan negara-negara tetangga di Kepulauan Pasifik.
Hal ini penting karena dalam dua tahun terakhir perwakilan negara-negara Pasifik mengangkat isu tentang ketimpangan dan konflik yang dialami saudara-saudara mereka di Papua yang dapat memicu perpecahan bangsa.
Meskipun penting untuk mengelola persaingan kekuatan besar, penting juga bagi Indonesia memahami bahwa dunia tidak hanya terdiri atas kekuatan besar. Kekuatan-kekuatan kecil dari negara di sekitar juga perlu diperhatikan, tutur Shofwan.