Konflik Agraria di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih terus terjadi hingga saat ini. Baik itu antara masyarakat, pemegang izin usaha ataupun pemerintah. Konflik ini juga menyebabkan timpangnya pemanfaatan dan pemilikkan hak atas tanah.
Dikatakan Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Kep. Babel) Herman Suhadi saat berkunjung ke Direktorat Penataan Ruang Kementrian ATR/BPN bersama pansus Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW), di Jakarta, Kamis (18/07/24) mengatakan, konflik agraria ini menjadi salah satu isu penting bagi Pemerintah Provinsi Kep. Babel khususnya bagi masyarakat, terlebih lagi saat ini DPRD Provinsi Kep. Babel sedang menyusun Ranperda RTRWP.
"Beberapa hari yang lalu masyarakat kami yang ada di Bangka Barat dan Belitung menyampaikan aspirasi kepada kami terkait penguasaan lahan oleh perusahaan HTI yang sampai hari ini pengelolaannya belum maksimal dan menginginkan lahan tersebut dikembalikan kepada masyarakat," ungkapnya.
Hal ini menurutnya adalah sebuah keinginan masyarakat yang harus segera diselesaikan, sehingga konflik agararia seperti ini tidak menjadi konflik yang berkembang dan menjadi warisan turun menurun kepada pemerintahan berikutnya.
Senada dengan Ketua DPRD, Ketua Pansus RTRWP Firmansyah Levi mengatakan pemerintah baik pusat dan daerah harus segera menyelesaikan polemik konflik agraria ini, sehingga kedepan tidak menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks.
"Kami (pansus) harus 'menclearkan' permasalahan ini, terutama terkait tumpang tindih izin usaha, wilayah pemukiman/perkantoran yang masuk dalam kawasan serta buffer jalan antara IUP dengan pemukiman, sehingga kedepan perda RTRWP ini menjadi clean dan clear," jelasnya.
Menanggapi hal tersebut Dirjen Penataan Agraria Kementrian ATR/BPN RI, Dalu Agung Darmawan menyampaikan sertifikat hak atas tanah adalah bukti kepemilikan yang sah dalam memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah.
Kementrian ATR/BPN sendiri di tahun 2024 ini menargetkan untuk melegalisasi sebanyak 120 juta bidang tanah dari total 126 juta bidang tanah.
"Dalam hal ini ATR/BPN itu memastikan kepemilikan/penguasaan terhadap bidang tanah baik itu masyarakat, pemerintah ataupun investor," ucapnya.
Terhadap wilayah pemukiman yang masuk kedalam kawasan hutan agar pemerintah daerah segera memetakan zona-zona tersebut untuk dimasukkan kedalam rencana tata ruang dan diajukan kepada kementrian terkait dalam hal ini KLHK. Sehingga wilayah tersebut sudah clean and clear dan proses penerbitan sertifikat hak atas tanah dapat dikeluarkan.
"Silahkan saja pak dimasukkan di dalam pola tata ruangnya seperti apa," tegasnya.
Terkait tumpang tindih izin adalah hal yang lumrah dan bisa terjadi. Dimana di dalam sebuah areal/zona terdapat 2 perizinan yang bebeda, seperti izin perkebunan dan satunya lagi izin pertambangan.
Perlu diketahui bahwa perizinan lebih kepada penggunaan dan pemanfaatan bukan kepada kepemilikan ataupun penguasaan hak atas tanah.
"Hal ini bisa saja terjadi karena adanya potensi-potensi yang mana dalam sebuah perkebunan didalamnya terdapat potensi pertambangan," ucapnya.
"Tetapi hal tersebut (pemegang izin) tidak serta merta dapat melakukan usaha perkebunan/pertambangan di sebuah wilayah tanpa adanya persetujuan dari pemilik hak atas tanah. Karena hak kepemilikan/penguasaan atas tanah adalah dua hal yang berbeda," tutupnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Dikatakan Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Kep. Babel) Herman Suhadi saat berkunjung ke Direktorat Penataan Ruang Kementrian ATR/BPN bersama pansus Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW), di Jakarta, Kamis (18/07/24) mengatakan, konflik agraria ini menjadi salah satu isu penting bagi Pemerintah Provinsi Kep. Babel khususnya bagi masyarakat, terlebih lagi saat ini DPRD Provinsi Kep. Babel sedang menyusun Ranperda RTRWP.
"Beberapa hari yang lalu masyarakat kami yang ada di Bangka Barat dan Belitung menyampaikan aspirasi kepada kami terkait penguasaan lahan oleh perusahaan HTI yang sampai hari ini pengelolaannya belum maksimal dan menginginkan lahan tersebut dikembalikan kepada masyarakat," ungkapnya.
Hal ini menurutnya adalah sebuah keinginan masyarakat yang harus segera diselesaikan, sehingga konflik agararia seperti ini tidak menjadi konflik yang berkembang dan menjadi warisan turun menurun kepada pemerintahan berikutnya.
Senada dengan Ketua DPRD, Ketua Pansus RTRWP Firmansyah Levi mengatakan pemerintah baik pusat dan daerah harus segera menyelesaikan polemik konflik agraria ini, sehingga kedepan tidak menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks.
"Kami (pansus) harus 'menclearkan' permasalahan ini, terutama terkait tumpang tindih izin usaha, wilayah pemukiman/perkantoran yang masuk dalam kawasan serta buffer jalan antara IUP dengan pemukiman, sehingga kedepan perda RTRWP ini menjadi clean dan clear," jelasnya.
Menanggapi hal tersebut Dirjen Penataan Agraria Kementrian ATR/BPN RI, Dalu Agung Darmawan menyampaikan sertifikat hak atas tanah adalah bukti kepemilikan yang sah dalam memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah.
Kementrian ATR/BPN sendiri di tahun 2024 ini menargetkan untuk melegalisasi sebanyak 120 juta bidang tanah dari total 126 juta bidang tanah.
"Dalam hal ini ATR/BPN itu memastikan kepemilikan/penguasaan terhadap bidang tanah baik itu masyarakat, pemerintah ataupun investor," ucapnya.
Terhadap wilayah pemukiman yang masuk kedalam kawasan hutan agar pemerintah daerah segera memetakan zona-zona tersebut untuk dimasukkan kedalam rencana tata ruang dan diajukan kepada kementrian terkait dalam hal ini KLHK. Sehingga wilayah tersebut sudah clean and clear dan proses penerbitan sertifikat hak atas tanah dapat dikeluarkan.
"Silahkan saja pak dimasukkan di dalam pola tata ruangnya seperti apa," tegasnya.
Terkait tumpang tindih izin adalah hal yang lumrah dan bisa terjadi. Dimana di dalam sebuah areal/zona terdapat 2 perizinan yang bebeda, seperti izin perkebunan dan satunya lagi izin pertambangan.
Perlu diketahui bahwa perizinan lebih kepada penggunaan dan pemanfaatan bukan kepada kepemilikan ataupun penguasaan hak atas tanah.
"Hal ini bisa saja terjadi karena adanya potensi-potensi yang mana dalam sebuah perkebunan didalamnya terdapat potensi pertambangan," ucapnya.
"Tetapi hal tersebut (pemegang izin) tidak serta merta dapat melakukan usaha perkebunan/pertambangan di sebuah wilayah tanpa adanya persetujuan dari pemilik hak atas tanah. Karena hak kepemilikan/penguasaan atas tanah adalah dua hal yang berbeda," tutupnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024