Seorang pejabat PBB menyatakan prihatin atas meningkatnya kekerasan di Haiti, serta mendesak dukungan bagi misi multinasional untuk memulihkan perdamaian di tengah aksi geng yang semakin tak terkendali.
"Di Haiti, kita menghadapi situasi kekerasan yang terus meningkat," kata Ulrika Richardson, Koordinator Residen dan Kemanusiaan PBB di Haiti, dalam konferensi pers virtual pada Rabu (20/11).
Richardson mencatat bahwa kekerasan geng semakin intensif sejak pelantikan perdana menteri baru Haiti pada 11 November, yang bertepatan dengan insiden kritis, termasuk serangan geng terhadap pesawat yang datang, sehingga bandara terpaksa ditutup.
Ia menjelaskan, sejak perdana menteri baru menjabat, aksi geng semakin meningkat dalam bentuk pembunuhan dan main hakim sendiri yang dilakukan oleh kelompok bersenjata.
Richardson menyoroti kontrol wilayah yang semakin meluas oleh geng di ibu kota, yang menyebabkan peningkatan jumlah korban jiwa dan tindakan main hakim sendiri, sehingga berdampak besar pada penduduk setempat.
"Dalam beberapa hari terakhir saja, ribuan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mencari perlindungan. Hal ini memberikan tekanan besar pada kapasitas yang sudah sangat terbatas dalam menyediakan perlindungan, makanan, tempat tinggal, dan air bagi para pengungsi," katanya.
Ia menyebut bahwa pelantikan pemerintah baru di Haiti pada Sabtu lalu berjalan cukup lancar, "namun sayangnya, kami belum melihat penurunan kekerasan sejak saat itu.
"Faktanya, kepolisian kesulitan merespons situasi ini. Kami menghormati keberanian mereka. Begitu pula dengan MSS (Misi Dukungan Keamanan Multinasional) yang hadir di Haiti dan mendukung kepolisian. Namun, upaya ini masih belum cukup," ujarnya.
Richardson menegaskan kembali seruan PBB agar terus mendukung Misi Dukungan Keamanan Multinasional (MSS) di Haiti untuk mengatasi situasi kritis di lapangan.
"Kami memantau situasi ini dengan sangat prihatin, dan sekali lagi, kami meminta negara-negara anggota memberikan dukungan yang diperlukan untuk MSS agar dapat mendukung kepolisian nasional," tambahnya.
Krisis di Haiti
Haiti, dengan populasi lebih dari 11 juta jiwa, menghadapi tantangan serius, termasuk ketidakstabilan politik, gejolak ekonomi, dan krisis keamanan yang memburuk.
Geng bersenjata kini menguasai sekitar 80 persen wilayah ibu kota, memperburuk kekerasan yang terjadi setiap hari.
Menurut Kantor Terpadu PBB di Haiti, kekerasan geng bersenjata telah merenggut 3.900 nyawa sejak awal tahun ini.
Lonjakan kekerasan tersebut juga memicu perubahan politik yang signifikan. Mantan Perdana Menteri Ariel Henry mengundurkan diri pada April 2024, yang mengarah pada pembentukan Dewan Transisi.
Garry Conille diangkat sebagai Perdana Menteri pada 28 Mei, tetapi digantikan pada 11 November oleh pengusaha Alix Didier Fils-Aim melalui keputusan dewan.
Sumber: Anadolu
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
"Di Haiti, kita menghadapi situasi kekerasan yang terus meningkat," kata Ulrika Richardson, Koordinator Residen dan Kemanusiaan PBB di Haiti, dalam konferensi pers virtual pada Rabu (20/11).
Richardson mencatat bahwa kekerasan geng semakin intensif sejak pelantikan perdana menteri baru Haiti pada 11 November, yang bertepatan dengan insiden kritis, termasuk serangan geng terhadap pesawat yang datang, sehingga bandara terpaksa ditutup.
Ia menjelaskan, sejak perdana menteri baru menjabat, aksi geng semakin meningkat dalam bentuk pembunuhan dan main hakim sendiri yang dilakukan oleh kelompok bersenjata.
Richardson menyoroti kontrol wilayah yang semakin meluas oleh geng di ibu kota, yang menyebabkan peningkatan jumlah korban jiwa dan tindakan main hakim sendiri, sehingga berdampak besar pada penduduk setempat.
"Dalam beberapa hari terakhir saja, ribuan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mencari perlindungan. Hal ini memberikan tekanan besar pada kapasitas yang sudah sangat terbatas dalam menyediakan perlindungan, makanan, tempat tinggal, dan air bagi para pengungsi," katanya.
Ia menyebut bahwa pelantikan pemerintah baru di Haiti pada Sabtu lalu berjalan cukup lancar, "namun sayangnya, kami belum melihat penurunan kekerasan sejak saat itu.
"Faktanya, kepolisian kesulitan merespons situasi ini. Kami menghormati keberanian mereka. Begitu pula dengan MSS (Misi Dukungan Keamanan Multinasional) yang hadir di Haiti dan mendukung kepolisian. Namun, upaya ini masih belum cukup," ujarnya.
Richardson menegaskan kembali seruan PBB agar terus mendukung Misi Dukungan Keamanan Multinasional (MSS) di Haiti untuk mengatasi situasi kritis di lapangan.
"Kami memantau situasi ini dengan sangat prihatin, dan sekali lagi, kami meminta negara-negara anggota memberikan dukungan yang diperlukan untuk MSS agar dapat mendukung kepolisian nasional," tambahnya.
Krisis di Haiti
Haiti, dengan populasi lebih dari 11 juta jiwa, menghadapi tantangan serius, termasuk ketidakstabilan politik, gejolak ekonomi, dan krisis keamanan yang memburuk.
Geng bersenjata kini menguasai sekitar 80 persen wilayah ibu kota, memperburuk kekerasan yang terjadi setiap hari.
Menurut Kantor Terpadu PBB di Haiti, kekerasan geng bersenjata telah merenggut 3.900 nyawa sejak awal tahun ini.
Lonjakan kekerasan tersebut juga memicu perubahan politik yang signifikan. Mantan Perdana Menteri Ariel Henry mengundurkan diri pada April 2024, yang mengarah pada pembentukan Dewan Transisi.
Garry Conille diangkat sebagai Perdana Menteri pada 28 Mei, tetapi digantikan pada 11 November oleh pengusaha Alix Didier Fils-Aim melalui keputusan dewan.
Sumber: Anadolu
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024