Toboali, Bangka Selatan (ANTARA) - Dosen Ilmu Sosial Politik Universitas Bangka Belitung, Ibrahim mengatakan wacana People Power sebenarnya berangkat dari kekhawatiran sebagian besar kalangan bahwa incumbent akan memanfaatkan perangkat dan sumber daya untuk memenangkan kontestasi
"Gerakan 'People Power ' Ini merupakan bentuk kekhawatiran atas Pemanfaatan sumber daya yang dibaca sebagai penyalahgunaan wewenang, jika betul dilakukan dan karenanya harus dilawan," Kata dia di Toboali, Selasa.
Menurut dia, pemanfaatkan sumber daya di tengah kondisi bahwa kaum kanan akan selalu partisan dan cenderung mengabdi pada kekuasaan yang ditempelinya Secara etik dan integritas salah. Namun secara logis dan normatif hal ini menunjukkan watak dari birokrasi yang cenderung masih patrimonial.
"Bagi saya sendiri, pemanfaatan sumber daya untuk kepentingan elektabilitas, termasuk sumber daya negara, adalah hal logis, namun hal pentingnya saya kira sejauhmana ia digunakan secara halus atau diperankan secara elegan. Bukankah justru menjadi pertanyaan aneh jika ada birokrat justru menjadi oposan ketimbang partisan," katanya.
Tidak hanya itu,wacana people power tidak saja kehilangan esensinya sebagai sebuah gerakan perlawanan manakala dilontarkan oleh mereka yang menjadi kandidat. Logikanya, ketika menolak dan menyatakan ada kecurangan, sejak awal kontestasi ditolak. Ketika kontestasi dilakoni lalu kalah kemudian menunjukkan penolakan, timbul pengkerdilan atas makna kekesatriaan pada akhirnya.
"Saya hanya mengkhawatirkan bahwa people power betul berubah menjadi people powered, people yang diberi energi, digerakkan, dan dimobilisasi, yang sayangnya diklaim justru oleh kelompok kontestan," katanya.
Kendati demikian, ia menilai bahwa negara digerakkan secara sepihak, yang sekali lagi dinyatakan bahwa ini menjadi tabiat alamiah dari sebuah tampilan kekuasaan yang kemudian tertempeli semangat partisanship.
"Tapi apapun itu, wacana people power, betapapun belahannya dengan oposan tak begitu sempurna mewarnakan bahwa masyarakat kita sedang terbelah," katanya.
Untuk itu, pemerintah harus tanggap, tapi tidak berarti fobia dan reaktif berlebihan. Sepanjang kritik dan mobilisasi dilakukan secara konstitusional, negara (bukan Jokowi) harus melindungi semua kepentingan.
Sebaliknya, para pendukung wacana people power (bukan Prabowo) harus betul-betul meyakinkan batas tegas antara people dan partisanshipnya.
Kalau keduanya bercampur aduk, akhirnya Jokowi dan Prabowo yang berhadapan, lalu menggeser Negara dan people yang berhadapan sebagai dua sumber keretakan bangsa.