Pekanbaru (Antara Babel) - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din
Syamsuddin, menyatakan bahwa perbedaan faham tentang awal masuk Ramadhan
dan Syawal merupakan sesuatu yang masuk dalam wilayah toleransi
sehingga tidak perlu dibesar-besarkan dan diperdebatkan.
"Menteri
Agama telah saya terima di Muhammadiyah dan sudah bertemu juga dengan
Ulama Nahdatul Ulama. Masih ada perbedaan pemahaman antara ahli hisab
dan ahli rukyat. Masih tidak ketemu, makanya ini masuk wilayah tasamuf
atau toleransi yang tak perlu dibesar-besarkan," katanya usai pengukuhan
pengurus MUI Riau di Pekanbaru, Senin malam.
Dua perbedaan itu
adalah yang satu rukyat menentukannya harus melihat dengan mata kepala
dulu atau istilahnya meyakini sesuatu dengan melihat. Sedangkan hisab
dengan perhitungan akal pikiran yang meyakini dengan mengetahui walaupun
tidak melihat.
Dijelaskannya bahwa menentukan awal Syawal ini
bukanlah perkara main-main karena harus ada dalilnya. Oleh karena itu,
ini adalah masalah ibadah yang dilakukan sesuai dengan keinginan
masing-masing.
"Kalau dalam Al-quran dikatakan bahwa apabila kamu
yakin bulan datang, maka berpuasalah. Yang penting berpuasalah dan
ber-Idul Fitrilah. Ini masalah ibadah, tidak seperti 12 Rabiul Awal atau
27 Rajjab yang tak perlu pakai rukyat dan sidang isbath," ulasnya.
Meskipun
begitu, seperti diketahui untuk tahun ini sampai dengan tahun 2022
tidak akan adalagi perbedaaan awal Ramadhan dan Syawal antara hisab dan
rukyat. Hal itu dikarenakan ketinggian bulan setelah konjungsi saat
matahari terbenam itu tinggi.
"Ahli hisab otomatis sudah hilal dan ahli rukyat kemungkinan sudah dapat melihat hilal," tambahnya.
Untuk
itu, Menag RI sudah mengusulkan penyatuan kalender Islam tahunan 1
Muharram sampai 29 Zulhijjah. Hal itu membuat mudah mengetahui tanggal
Ramadhan sehinga tidak perlu lagi sidang isbath.
Din
Syamsuddin sebagai Ketua PP Muhammadiyah juga telah mengumumkan awal
puasa nanti adalah 18 Juni. Kemudian awal Syawal atau Hari Raya Idul
Fitri pada 17 Juli.