Moscow (ANTARA) -
Berbicara dalam Konferensi Dialog Raisina di New Delhi, Lavrov mengatakan bahwa semua menanyakan kapan Rusia siap berunding guna mengakhiri perang yang dimulai Februari 2022 itu, tetapi tidak ada yang meminta Ukraina untuk melakukan pembicaraan damai.
Dia mengingatkan sponsor utama Ukraina, yakni Barat, terus mengatakan bahwa "belum saatnya berunding karena Ukraina harus terlebih dahulu menang di medan perang sebelum bernegosiasi."
"Dan Zelenskyy sendiri, tidak ada yang menanyai Zelenskyy, menanyakan kapan dia mau berunding. Tapi Anda seharusnya tahu bahwa September tahun lalu Zelenskyy menandatangani sebuah dekrit, yang menyatakan adalah perbuatan melawan hukum jika berunding dengan Rusia selama Vladimir Putin menjadi presidennya."
"Jadi bisakah Anda mengatasi masalah ini, bisakah Anda bertanya apa yang ia lakukan?" tanya Lavrov.
Dia menekankan bahwa Rusia sejauh berpuluh-puluh tahun lalu sudah memperingatkan Barat agar menghentikan ekspansi NATO dan memasok senjata kepada Ukraina untuk menyiapkan perang melawan Rusia.
Baca juga: Bertemu Sergey Lavrov di India, Antony Blinken minta Rusia akhiri perang di Ukraina
Lavrov menyinggung kalimat Presiden AS Joe Biden, Menteri Luar Negeri AS, dan Sekjen NATO Jens Stoltenberg bahwa "Rusia harus menderita kekalahan strategis di medan perang," yang sangat menentukan untuk dominasi global Barat.
"Ini pengakuan yang sangat blak-blakan, menurut saya," kata Lavrov.
Menteri luar negeri Rusia itu mengatakan negara-negara Barat berusaha memasukkan situasi di Ukraina dalam deklarasi pertemuan tingkat menteri G-20, tetapi tidak berhasil karena kelompok tersebut tidak pernah memasukkan situasi konflik-konflik lain dalam deklarasi G20, termasuk di Irak, Libya, Afganistan, atau Yugoslavia.
"G-20 dibentuk tahun 1999 pada tingkat menteri keuangan dan direktur bank sentral...tidak ada yang peduli kepada selain keuangan, dan kebijakan ekonomi makro, untuk itulah G-20 dibentuk."
"Belakangan ini ketika hal itu tak lagi penting yang justru sekarang dilakukan Barat, dengan keyakinan itu benar, ketika Rusa membela diri setelah bertahun-tahun berseru, tidak ada yang menarik bagi G-20 kecuali Ukraina. Sungguh memalukan, dan kebijakan ini akan gagal," tandas Lavrov.
Rusia mengarahkan kembali kebijakan energinya 'pada mitra yang dapat diandalkan'
Lavrov mengatakan setelah perang di Ukraina usai, Rusia tidak akan pernah mengandalkan Barat, dan sebagai gantinya akan fokus membangun hubungan dengan mitra-mitra yang "dapat diandalkan".
"Perang, yang sedang kami coba hentikan, yang dilancarkan terhadap kami dengan memanfaatkan rakyat Ukraina, tentu saja mempengaruhi Rusia, termasuk kebijakan energi, kami tidak akan bergantung lagi kepada mitra mana pun di Barat," kata Lavrov.
Baca juga: Korsel belum putuskan kirim senjata mematikan ke Ukraina
Sang menteri menambahkan bahwa Moskow "tidak akan lagi membiarkan pipanya meledak lagi. Dia merujuk kepada peristiwa September lalu tentang ledakan jalur pipa gas Nord Stream yang melalui mana Rusia menyalurkan gas ke Eropa.
Ia mengatakan Moskow meminta penyelidikan untuk insiden Nord Stream tetapi langsung ditolak, bahkan Amerika Serikat menyebutnya "omong kosong."
Ia mengatakan Jerman "dipermalukan" "secara fisik dan moral dan banyak hal lain" ketika Jerman menyetujui keadaan seperti itu, karena kepentingan intinya telah dipengaruhi insiden ini.
Menurut Lavrov, "Semuanya, yang terjadi sekarang adalah untuk mengecilkan Eropa menjadi bawahan Amerika Serikat, untuk melemahkan daya saing Eropa," dan "untuk merusak" hubungan ekonomi antara Rusia dan Uni Eropa.
"Biarlah. Jika ini adalah pilihan mereka sebagaimana retorika dan narasinya, bahwa apa yang terjadi adalah sangat menentukan masa depan Barat dari sudut pandang kemampuannya untuk mendominasi, maka pantaslah," kata dia.
Kebijakan energi Rusia akan berorientasi pada mitra-mitra yang bisa diandalkan, dan India serta China "pasti" termasuk mitra-mitra seperti ini, kata Lavrov.
Hubungan China-India
Menanggapi kekhawatiran India mengenai pemulihan hubungan Rusia-China, Lavrov mengatakan Moskow berhubungan baik dengan China dan India.
Ia mengatakan hubungan dengan India ditandaskan dalam dokumen-dokumen resmi sebagai "kemitraan strategis yang sangat istimewa."
"Saya tidak tahu apa ada negara lain yang memiliki status yang sama di atas kertas, secara resmi, dengan sahabat kami India, tetapi inilah yang kami yakini, yang mencerminkan kenyataan. Baik dalam ekonomi, teknologi, kerja sama militer, kerja sama militer teknis, budaya, hubungan kemanusiaan, maupun hubungan pendidikan," kata Lavrov.
Ia menambahkan saat ini Moskow sedang memiliki tingkat hubungan terbaik dengan Beijing, dan akan menarik jika China dan India bersahabat.
Baca juga: Amerika Serikat bantah bantu sediakan data intel ke Ukraina untuk target di Rusia
Lavrov mengenang bahwa atas prakarsa pendahulunyalah format RIC -- Rusia, India, China -- dibentuk yang akhirnya berkembang menjadi BRICS -- Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan.
Ia menegaskan ternyata BRICS lebih populer, dan puluhan negara ingin bergabung, namun troika RIC terus berfungsi, ada pertemuan tahun lalu, dan satu lagi direncanakan tahun ini untuk tingkat menteri.
"Menurut saya, semakin mereka (China dan India) sering bertemu, maka semakin baik," sambung Lavrov.
Lavrov menyebut BRICS sebagai platform lain bagi China dan India untuk membahas masalah kepentingan bersama, di samping Organisasi Kerjasama Shanghai.
"Kami sangat mendukung India bergabung dalam Organisasi Kerjasama Shanghai, termasuk dari sudut pandang menyediakan platform lain di mana India dan China bisa bekerja sama dan mencari solusi bersama," kata Lavrov.
Dia menambahkan bahwa yang harus dikhawatirkan adalah aktivitas AS di wilayah tersebut karena Washington sedang berusaha mempromosikan format anti-Rusia dan anti-China.
Sumber: ANADOLU