Jakarta (ANTARA) - Tim ahli klinis TBC RSUD Cilincing dr. Agung Prasetyo Sp.P mengungkapkan bahwa seseorang yang tak pernah terkena tuberkulosis (TB) sebelumnya masih bisa berisiko terkena TB resisten obat (RO) akibat riwayat kontak dengan pasien TB RO.
"Itu karena riwayat kontak dengan pasien TB RO sebelumnya. Itu cukup sering saya temukan. Penularan dari pasien TB RO," ujar dia dalam seminar daring terkait "Pengobatan Baru TBC Resisten Obat, Kini Sembuh Lebih Cepat" yang diadakan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Selasa.
Menurut Agung, selain riwayat penularan, penyebab lainnya seseorang bisa terkena TB RO, yakni pengobatan TB SO yang tak sampai tuntas dan mengalami gangguan dalam penyerapan obat TB.
TBC atau TB RO adalah kondisi bakteri telah mengalami kekebalan terhadap obat anti TB (OAT) lini pertama. Ini berbeda dengan TB sensitif obat (SO) yang merupakan kondisi bakteri mycobacterium tuberculosis masih sensitif terhadap obat anti TB (OAT).
Pasien TB SO masih bisa mendapatkan terapi dengan pengobatan selama enam bulan. Sementara pada TB RO, pengobatannya lebih lama, yakni 9 bulan atau 18 bulan yang bergantung pada kondisi klinis masing-masing pasien.
Namun, saat ini terdapat pengobatan untuk pasien TB RO yang lebih cepat, yakni selama enam bulan.
Merujuk Kementerian Kesehatan, pengobatan ini, yakni BPaL dan BPaLM (bedaquiline, pretomanid, linezolid dan moksifloksasin) atau dikenal sebagai regimen oral jangka pendek TB RO yang membantu mempersingkat pengobatan jangka pendek TB RO menjadi enam bulan.
Sebelumnya, pengobatan jangka pendek untuk pasien TB RO berdurasi 9-11 bulan dan menggunakan suntikan.
Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta mencatat jumlah notifikasi kasus TBC di DKI Jakarta tahun 2023 sebanyak 60.420 kasus. Dari jumlah ini, sebanyak 59.217 di antaranya merupakan kasus TBC SO dan 1.203 (2 persen) lainnya adalah kasus TBC RO.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat Indonesia sebelumnya bisa mendeteksi kasus TB sebanyak 400-500 ribu, lalu turun menjadi sekitar 300 ribu selama pandemi COVID-19.
Namun pada tahun 2022, deteksi kasus naik menjadi 700 ribu dan 800 ribu kasus pada tahun 2023.
Indonesia masih terus berkomitmen untuk meningkatkan jumlah kasus yang dilaporkan hingga menjadi 900 ribu dari 1 juta perkiraan kasus TB pada tahun 2024.
Indonesia juga berkomitmen menyediakan pengobatan TB yang lebih singkat, memperkuat kolaborasi dengan komunitas serta melakukan inovasi pembiayaan untuk layanan TB.