Jakarta (ANTARA) - Pegiat Lingkungan Provinsi Bangka Belitung (Babel) Elly Rebuin menolak penambang rakyat yang bekerja di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. disebut sebagai penambang ilegal dalam kasus korupsi timah.
Menurut dia, penambang ilegal merupakan mereka yang menambang di hutan lindung atau di areal yang tidak memiliki izin.
"Jika penambang rakyat terus disebut penambang ilegal dan pihak penampung dijadikan koruptor dan divonis bersalah maka hentikan saja industri timah di Bangka," ujar Elly dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Menurut Elly, pola seperti itu ke depannya akan terus terjadi dan akan ada terus tuduhan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, kata dia, penambang rakyat tetap dituduh ilegal meski bekerja dalam kontrak kerja dan IUP yang jelas.
Maka dari itu, dirinya menilai konstruksi tersebut dalam kasus korupsi timah tidak adil dan masuk akal bagi masyarakat Babel lantaran masyarakat wilayah itu sudah menderita karena menjadi provinsi termiskin di Indonesia dan terus-menerus dicap ilegal.
Baca juga: Hakim tetapkan kerugian lingkungan kasus timah capai Rp271 triliun
Baca juga: Mantan Dirut PT Timah sebut tak punya niat buruk usai divonis penjara
Padahal, ia menyebutkan seluruh ketentuan undang-undang telah dipenuhi serta jaminan reklamasi sudah dibayar.
Elly pun turut menyoroti adanya peningkatan volume produksi dan keuntungan dari kerja sama smelter dengan PT Timah.
"Jadi sebetulnya yang menjadi musuh industri tambang timah itu adalah penyelundup (smokel), bukan smelter atau tambang timah," ungkapnya.
Maka dari itu, dirinya dan Forum Peduli Bangka Belitung memperjuangkan untuk mengajukan gugatan hukum terhadap ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Bambang Hero Saharjo yang menyebut telah terjadi kerugian negara Rp271 triliun akibat penambangan di Bangka Belitung.
Baca juga: Ibunda histeris usai Helena Lim divonis 5 tahun penjara di kasus timah
Baca juga: Mantan Dirut PT Timah divonis 8 tahun penjara terbukti korupsi
Dia berpendapat ahli IPB itu harus bertanggung jawab secara hukum karena akibat perhitungannya satu provinsi Babel menjadi korban, ekonomi Babel ambruk, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di wilayah itu meningkat.
Adapun Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta telah menetapkan kerugian lingkungan akibat kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015—2022 mencapai Rp271 triliun.
Hakim anggota Fahzal Hendri menyebutkan kerugian lingkungan hidup tersebut disebabkan oleh kegiatan penambangan yang dilakukan secara melawan hukum.
"Kerugian lingkungan pada nonkawasan hutan dan kawasan hutan dengan total luas area lebih dari 170 ribu hektare sebesar Rp271 triliun lebih," kata Hakim dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Baca juga: Helena Lim divonis lima tahun penjara dalam kasus korupsi timah
Hakim memerinci, kerugian lingkungan hidup tersebut terdiri atas di non kawasan hutan seluas 95 ribu hektare lebih mencapai sebesar Rp47,7 triliun dan di dalam kawasan hutan seluas 75 ribu hektare lebih sebesar Rp223,3 triliun.
Sementara berdasarkan jenisnya, total kerugian lingkungan itu meliputi biaya kerugian lingkungan atau ekologi sebesar Rp183,7 triliun, biaya kerugian ekologi lingkungan sebesar Rp75,4 triliun, serta biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp11,8 triliun.
Secara total, Majelis Hakim menyatakan kasus korupsi timah merugikan negara sebesar Rp300 triliun.