Jakarta (Antara Babel) - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengatur promosi rokok.
Pengujian aturan promosi rokok ini diajukan oleh Hilarion Haryoko, Sumiati, Normansyah dan Winarti bertindak selaku orang tua Muhammad Fathi Akbar, Ari Subagio Wibowo dan Cathrina Triwidarti bertindak selaku orang tua Oktavianus Bimo Archa Wibowo, dan Syaiful Wahid Nurfitri karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal promosi rokok tersebut.
"Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran ini juga akan mengakibatkan kerugian di bidang kesehatan, kesejahteraan menjadi menurun, dan menurunya kualitas hidup generasi bangsa," kata salah satu kuasa pemohon, Mustakim, saat membacakan permohonannya dalam sidang pendahuluan di MK Jakarta, Kamis.
Menurut dia, Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran ini mendorong peningkatan konsumsi rokok di kalangan masyarakat, khususnya anak-anak dan mahasiswa (perokok pemula).
Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran berbunyi: "Siaran iklan niaga dilarang melakukan : c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok".
Dia mengungkapkan beberapa fakta siaran materi iklan promosi rokok tidak sesuai fakta yang sebenarnya dan iklan dan promosi rokok banyak menggunakan momentum atau kegiatan kebiasaan remaja sebagai strategi menjerat remaja menjadi konsumen rokok.
Untuk itu, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran sepanjang frasa "promosi rokok yang memperagakan wujud rokok" karena bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
"Menyatakan materi muatan dalam Pasal 46 ayat (3) huruf c Undang-Undang Penyiaran sepanjang mengenai frasa 'promosi rokok yang memperagakan wujud rokok' tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Mustakim.
Sidang ini dipimpin oleh majelis panel yang diketuai Akil Mochtar didampingi Ahmad Fadlil Sumadi dan Arif Hidayat sebagai anggota.
Menanggapi permohonon tersebut, Fadlil Sumadi menilai materi permohonan masih belum jelas karena tidak menguraikan pertentangan pasal yang diuji dengan pasal UUD 1945.
"Seharusnya masih ada ruang yang perlu diisi yang menggambarkan pertentangan pasal yang diuji dengan pasal UUD 1945," kata Fadlil.
Menurut Fadlil, jika frasa itu dibatalkan iklan rokok justru tidak dilarang.
"Ini harus bisa dijelaskan argumentasinya kenapa frasa ini promosi rokok yang memperagakan wujud rokok minta dibatalkan. Argumentasinya tidak hanya dibangun berdasarkan pada UU Kesehatan, tetapi harus dijelaskan pertentangannya dengan pasal UUD 1945," katanya.
Sedangkan Akil Mochtar menilai permohonan belum menguraikan kerugian konstitusionalnya.
"Kerugian pemohon harus dijelaskan dalam permohonan, jangan hanya menjelaskan soal ketidakkonsistenan (aturan kontradiktif) saja," kata Akil.
Untuk itu, majelis panel memberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya.