Koba, Babel (ANTARA) - Aktivitas penambangan bijih timah liar kembali marak di kawasan Marbuk, Kinari dan Punguk Kabupaten Bangka Tengah yang notabene merupakan Wilayah Izin Usaha Penambangan Khusus (WIUPK) milik PT Timah Tbk.
"Iya informasinya langsung ke bagian humas saja ya," kata Head Area wilayah Bangka Tengah dan Bangka Selatan Sigit Prabowo di Koba, Rabu.
Sebelumnya PT Timah Tbk sudah mendapat mandat dari Kementerian ESDM dengan penerbitan surat Tanggal18 November 2024, tentang pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) blok Kenari, Merbuk dan Punguk.
Terpantau di tiga lokasi tersebut, ditemukan ratusan unit Ponton Isap Produksi beroperasi secara ilegal, dimana sebelumnya sempat terhenti karena dirazia dan diamankan secara ketat oleh aparat kepolisian.
Bupati Bangka Tengah Algafry Rahman, meminta PT Timah Tbk untuk segera mengelola potensi bijih timah di kawasan Marbuk, Kinari, dan Pungguk, yang telah ditetapkan sebagai Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Bupati menekankan bahwa dengan pengelolaan resmi oleh PT Timah, diharapkan aktivitas penambangan ilegal dapat dihentikan.
Namun, hingga Januari 2025 aktivitas penambangan ilegal di kawasan tersebut masih marak dan ini menunjukkan bahwa meskipun telah dilakukan berbagai upaya penertiban, aktivitas penambangan ilegal masih berlanjut.
Sebelumnya Kapolres Bangka Tengah AKBP Pradana Aditya menyatakan aktivitas penambangan bijih timah di lokasi tersebut sudah sering ditertibkan. Semua ponton atau alat pengeruk bijih timah ilegal dibongkar, dan tindakan hukum yang lebih terukur diambil terhadap oknum yang terlibat.
Selain itu, Kejaksaan Agung Republik Indonesia menetapkan.sejumlah perusahaan tambang sebagai tersangka dalam kasus penambangan ilegal yang terkait dengan PT Timah.
Sejumlah perusahaan diduga berkolusi dengan mantan eksekutif PT Timah antara Tahun 2018 dan 2019 untuk memfasilitasi penambangan ilegal dan membuat transaksi peleburan fiktif.
Kerugian negara akibat aktivitas ilegal ini diperkirakan mencapai Rp29 triliun, dengan kerusakan lingkungan sebesar Rp271 triliun.
"Diperlukan kerja sama yang lebih intensif antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, perusahaan terkait.dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan ini secara komprehensif," kata Aditya.