Pangkalpinang (ANTARA) - Perceraian adalah peristiwa yang hampir selalu meninggalkan luka, tidak hanya pada pasangan yang berpisah, tetapi juga dan terutama pada anak-anak mereka yang ikut terseret dalam proses perceraian tersebut.
Dalam proses hukum di Pengadilan Agama, anak yang mengikuti proses langsung tersebut seringkali menjadi pihak yang paling rentan, yang harus menghadapi dilema besar di tengah konflik kedua orang tuanya. Dilema ini tidak hanya berkaitan dengan siapa yang akan mengasuh mereka, tetapi juga menyentuh aspek psikologis, sosial, dan moral yang sangat dalam.
Di Pengadilan Agama, rumah tangga yang retak kerap berujung pada sengketa pengasuhan anak (hadhanah), di mana anak dihadapkan pada situasi yang sangat dilematis dan penuh tekanan psikologis.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105, anak yang belum mumayyiz (berumur di bawah 12 tahun) secara otomatis berada dalam pengasuhan ibunya, sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak memilih tinggal bersama ayah atau ibunya.
Secara teoritis, aturan ini tampak jelas dan tegas. Namun, proses ini tetap menimbulkan ketegangan dan persaingan antara orang tua terkait hak asuh, terutama dalam kasus perkawinan beda agama yang menambah kompleksitas hak-hak anak.
Dampak ekonomi juga signifikan, karena perceraian sering mengurangi pendapatan keluarga, sehingga anak berisiko kurang terpenuhi kebutuhan dasarnya dan mengalami penurunan kualitas hidup. Sedangkan di lapangan, proses pemilihan ini justru menjadi momok bagi anak. Anak seringkali dihadapkan pada pilihan yang sulit: harus memilih antara ayah atau ibu mereka. Sementara itu, di dalam hati, anak sebenarnya ingin kedua orang tuanya tetap bersama dan tidak ada perceraian.
Persidangan pengadilan agama yang melibatkan anak kerap berlangsung secara emosional. Tidak jarang, anak menangis di persidangan, merasa bingung, kecewa, dan bahkan menolak memilih antara ibu dan ayahnya. Mereka hanya ingin kedua orang tuanya rukun kembali.
Majelis hakim biasanya berusaha melakukan pendekatan emosional, menjelaskan bahwa keputusan harus datang dari hati anak tanpa tekanan dari pihak mana pun. Namun, tetap saja, situasi ini sangat berat bagi anak yang mengikuti proses tersebut, karena mereka juga harus menerima kenyataan pahit bahwa keluarga mereka tidak utuh lagi.
Oleh karena itu, penting bagi Pengadilan Agama untuk tidak hanya fokus pada penyelesaian sengketa perceraian, tetapi juga memperhatikan kepentingan dan perlindungan anak untuk meminimalkan dampak negatif bagi anak anak tersebut. Hakim harus mampu memberikan pendekatan yang ramah anak, mendengarkan suara dan penjelasan mereka, dan memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar demi kepentingan terbaik anak.
Dari sudut psikologis, anak-anak korban perceraian cenderung mengalami berbagai masalah emosional. Mereka bisa menjadi pendiam, agresif, tidak percaya diri, pesimis terhadap cinta, dan bahkan mengalami kecemasan serta depresi, bahkan sering merasa kehilangan kasih sayang, mengalami tekanan psikologis, dan kebingungan akibat konflik orang tua dan ketidakpastian masa depan akibat perceraian kedua orangtuanya, selain itu anak-anak yang sering merasa tertekan, kesepian, sedih, dan bahkan dari yang ceria menjadi pemalu, itu juga dampak karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tua yang sibuk dengan konflik mereka sendiri.
Dalam beberapa kasus, anak-anak ini bahkan mengalami trauma emosional yang dapat membekas hingga dewasa. Penelitian di berbagai daerah menunjukkan bahwa anak-anak korban perceraian sering mengalami gangguan dalam perkembangan intelektual, sosial, bahasa, moral, dan keagamaan.
Mereka merasa berbeda dengan teman-temannya yang memiliki keluarga utuh, dan ini bisa menurunkan rasa percaya diri serta motivasi belajar. Beberapa anak bahkan menunjukkan prestasi sekolah yang menurun, serta kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan sosialnya. Bahkan tidak sering anak yang mengalami hal tersebut salah memilih pergaulan atau masuk ke dalam pergaulan bebas yang mengakibatkan anak tersebut liar.
Faktor ini juga yang mengharuskan pengadilan agama lebih progresif dalam melindungi anak korban perceraian. Hakim harus berani keluar dari zona nyaman, tidak hanya memutuskan perkara secara cepat, tetapi juga memastikan kepentingan anak benar-benar terjamin.
Perlindungan anak harus menjadi prioritas utama dalam setiap putusan perceraian yang melibatkan anak. Selain itu, penting juga bagi orang tua untuk memikirkan dampak perceraian pada anak sebelum memutuskan bercerai, atau setidaknya memastikan bahwa kebutuhan dan hak anak tetap terpenuhi pasca perceraian orang tua mereka.
Dengan ini, penulis berpendapat bahwa anak-anak yang menjadi korban perceraian yang mengikuti proses di Pengadilan Agama dan menghadapi dilema yang sangat kompleks, baik dari segi hukum, psikologis, maupun sosial. Mereka adalah pihak yang paling rentan dalam proses perceraian, dan seringkali menjadi korban dari konflik kedua orang tuanya. Oleh karena itu, penting bagi Pengadilan Agama, kedua orang tua, dan lingkungan sekitar untuk memberikan perlindungan, perhatian, dan kasih sayang yang cukup kepada anak-anak ini. Dengan pendekatan yang ramah anak, perlindungan hukum yang kuat, serta penguatan spiritual dan moral, diharapkan anak-anak korban perceraian dapat melewati masa-masa sulit ini dengan baik, dan tetap tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara fisik, mental, dan spiritual. Sudah saatnya anak-anak tidak lagi menjadi korban, tetapi menjadi pusat perhatian dan perlindungan dalam setiap proses hukum di Pengadilan Agama.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung (UBB) jurusan hukum