Pangkalpinang (ANTARA) - Ekonomi daerah merupakan kegiatan atau aktivitas yang berlangsung di suatu wilayah administratif tertentu, seperti provinsi, kabupaten, atau kota. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan global sangat memengaruhi pelaksanaan sektor ekonomi nasional. Pemerintah daerah memiliki peran yang strategis dan menyeluruh dalam penyelenggaraan pemerintahan guna menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga mampu mensejahterakan masyarakatnya.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa “penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Selain itu, berbagai peraturan daerah juga telah dibuat sebagai landasan kebijakan yang diharapkan membawa dampak positif bagi masyarakat.
Namun, cita-cita ideal ini tidak selalu berjalan seiring dengan realitas di lapangan. Pemerintah daerah sering kali lebih fokus menyusun berbagai regulasi daripada langsung menyentuh akar persoalan masyarakat. Alih-alih menjadi solusi, regulasi-regulasi tersebut justru kerap memperumit pelaksanaan kebijakan. Ironisnya, di tengah kondisi ekonomi yang stagnan, banyak pejabat daerah justru sibuk dengan rapat-rapat panjang yang menghabiskan anggaran, namun minim implementasi.
Regulasi memang penting sebagai kerangka hukum pelaksanaan kebijakan. Namun, ia akan menjadi tidak berarti jika tidak dibarengi dengan tindakan nyata. Dalam konteks ekonomi daerah, kita bisa melihat betapa banyaknya peraturan yang membahas pengembangan UMKM, pengurangan kemiskinan, hingga peningkatan investasi. Tetapi ketika kita turun langsung ke lapangan, kondisi yang terlihat justru sebaliknya.
Masih banyak pelaku UMKM yang kesulitan mendapatkan akses pembiayaan formal. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM serta OJK tahun 2023, sekitar 69,5% UMKM belum mendapatkan akses kredit dari perbankan. Sementara itu, data OJK juga menunjukkan bahwa sekitar 47% kebutuhan pembiayaan UMKM belum terlayani oleh lembaga keuangan formal. Akibatnya, mayoritas UMKM masih mengandalkan modal pribadi atau dari kerabat. Ini memperlihatkan adanya gap antara regulasi yang dibuat dan kebutuhan riil di lapangan.
Di sisi lain, persoalan perizinan dan tata ruang juga menjadi penghambat masuknya investasi. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa banyak rencana investasi di daerah terhambat karena belum tersedianya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), serta sistem birokrasi yang masih berbelit. Meskipun tidak ada angka resmi tentang berapa persen rencana investasi yang terhambat, fakta ini cukup menggambarkan bahwa hambatan regulasi sangat signifikan dan nyata.
Lebih memprihatinkan lagi, banyak regulasi dibuat tanpa kajian matang atau pelibatan masyarakat. Hal ini menyebabkan kebijakan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Contohnya, beberapa daerah menetapkan kawasan ekonomi khusus yang justru menggusur lahan pertanian masyarakat tanpa kompensasi dan solusi yang adil. Jika tidak diawasi, regulasi seperti ini bisa menjadi alat kekuasaan yang merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan segelintir pihak.
Sering kali, pemerintah daerah juga lebih fokus pada pembangunan fisik dan pencitraan seperti taman kota, ikon wisata, atau proyek-proyek besar daripada membangun pondasi ekonomi yang berkelanjutan. Padahal, proyek semacam itu akan percuma jika masyarakat tidak dibekali dengan keterampilan, akses usaha, dan pendapatan yang stabil.
Yang dibutuhkan saat ini adalah niat dan keberanian pemerintah daerah untuk bertindak nyata. Bukan hanya mengadakan seminar atau membuat peraturan baru, melainkan terjun langsung ke lapangan, berdialog dengan masyarakat pedagang pasar, petani, nelayan, dan pelaku UMKM untuk mengetahui kebutuhan mereka secara nyata. Dengan begitu, kebijakan yang dibuat akan lebih tepat sasaran.
Pemerintah juga harus membangun dukungan konkret, seperti penyediaan pembiayaan dengan bunga rendah, pelatihan kerja gratis yang terarah, dukungan pemasaran digital bagi produk lokal, serta integrasi teknologi dalam proses produksi masyarakat. Semua ini hanya akan terwujud bila diiringi dengan aksi, bukan sekadar regulasi.
Evaluasi program juga harus dilakukan secara transparan. Banyak program ekonomi berjalan tanpa indikator keberhasilan yang jelas, sehingga tidak diketahui efektivitasnya. Tanpa data yang valid dan evaluasi terbuka, sulit mengukur apakah pelatihan kerja benar-benar meningkatkan pendapatan masyarakat, atau apakah bantuan modal digunakan dengan benar. Semua program butuh pengawasan dan pelaporan yang akuntabel.
Selain itu, kolaborasi lintas sektor perlu ditingkatkan. Pemerintah daerah tidak bisa bekerja sendiri. Dunia usaha, perguruan tinggi, dan komunitas lokal dapat menjadi mitra strategis. Misalnya, kampus bisa berperan melalui riset dan inovasi produk lokal yang dilakukan oleh mahasiswa. Komunitas juga bisa menjadi penggerak ekonomi berbasis masyarakat. Namun, kolaborasi ini hanya akan berhasil jika ruang partisipasi dibuka luas, dan tidak eksklusif atau elitis.
Sebagai mahasiswa, kita memiliki peran penting untuk menyuarakan pendapat dan berpikir kritis terhadap arah pembangunan daerah. Terutama ketika pembangunan hanya berfokus pada regulasi tanpa menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. Mahasiswa bisa mendorong agar pemerintah lebih berpihak kepada rakyat kecil, melalui pemberdayaan ekonomi yang konkret serta kebijakan yang langsung dirasakan manfaatnya.
Regulasi tetap penting, tetapi harus diiringi dengan tindakan nyata. Ekonomi akan tumbuh jika pemerintah daerah tidak hanya sibuk merancang rencana, tetapi juga menjalankan kebijakan secara nyata, jujur, dan berpihak. Sudah saatnya pemerintah daerah menurunkan egonya dari podium rapat, dan mulai mendengar denyut ekonomi rakyat dari pasar-pasar kecil, ladang petani, hingga perahu nelayan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
Ekonomi butuh aksi, bukan sekadar regulasi semata
Oleh Oktavia Wulan Dari *) Rabu, 18 Juni 2025 17:31 WIB
