Jakarta (ANTARA) - Musisi Hendra Samuel “Sammy” Simorangkir berharap Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan penafsiran yang menjamin hak penyanyi maupun pelaku pertunjukan terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
“Saya berharap MK berkenan memberikan penafsiran konstitusional yang menjamin kami, para penyanyi, pelaku pertunjukan, dalam kepastian hukum dan perlindungan yang adil,” kata Sammy saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan pengujian materi UU Hak Cipta di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa.
Menurut Sammy, norma pasal dalam UU Hak Cipta saat ini dapat menjadi pembatas sekaligus ancaman bagi para penyanyi.
Ia menyebut kondisi itu merupakan bentuk nyata dari hilangnya jaminan rasa aman untuk melaksanakan profesi secara sah.
Padahal, imbuh dia, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menjamin setiap orang memiliki hak atas kepastian hukum yang adil serta hak untuk merasa aman dalam menjalankan kehidupannya sebagai warga negara.
Di hadapan persidangan yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, mantan vokalis grup musik Kerispatih itu menyebut lagu yang dulu dia hidupkan melalui suara dan emosi, kini menjadi sumber ancaman hukum.
Baca juga: Di sidang MK, Lesti Kejora berbicara kekaburan norma UU Hak Cipta
Sammy bercerita setelah dikeluarkan dari band Kerispatih, dia pernah dilarang secara lisan untuk menyanyikan lagu-lagu milik grup musik pop papan atas itu, kecuali jika membayar Rp5 juta per lagu.
“Larangan ini disampaikan oleh pihak band Kerispatih yang saya duga kuat dilakukan atas permintaan Saudara Badai, sebagai pencipta utama lagu-lagu tersebut,” katanya.
Situasi menjadi semakin rumit ketika Doadibadai Hollo alias Badai keluar dari Kerispatih. Badai disebut melayangkan somasi kepada Kerispatih dan secara terbuka melarang grup musik itu menyanyikan lagu-lagu ciptaannya.
Larangan itu ditindaklanjuti melalui pertemuan langsung. Sammy menyebut dalam pertemuan dimaksud, Badai menyodorkan draf perjanjian tertulis kepada manajemen dirinya dan pihak band Kerispatih.
Inti dari perjanjian itu ialah apabila Sammy atau Kerispatih ingin menyanyikan lagu-lagu ciptaan Badai, masing-masing diwajibkan membayar kontribusi sebesar 10 persen dari honorarium atau pendapatan off air yang diperoleh dari pertunjukan.
“Hal ini menunjukkan bahwa tafsir mengenai adanya kewenangan untuk melarang orang lain, termasuk saya—pihak yang punya jasa turut membesarkan dan mempopulerkan lagu, berasal dari saudara Badai sendiri; dan bukan merupakan kesepakatan kolektif ataupun hasil mekanisme hukum yang pasti,” kata Sammy.
Selaku penyanyi yang juga pencipta lagu, Sammy menekankan bahwa dia menghargai dan mendukung keadilan yang layak bagi para pencipta. Namun, ia menilai polemik telah bergeser dari ruang keadilan menuju dominasi sepihak.
“Pelaku pertunjukan atau seorang penyanyi seperti saya yang secara sah berkontribusi membesarkan lagu, justru bisa dilarang atau bisa dibatasi secara sewenang-wenang oleh pihak yang merasa memiliki hak atas lagu tersebut,” katanya.
Sammy Simorangkir dihadirkan sebagai saksi oleh para pemohon Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025. Perkara ini diajukan oleh musisi Tubagus Arman Maulana (Armand Maulana), Nazril Irham (Ariel NOAH), serta 27 musisi kenamaan lainnya.
Armand Maulana dkk. mendalilkan sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta tidak memberikan kepastian hukum. Mereka pada intinya mempersoalkan mekanisme pembayaran royalti dan izin penggunaan ciptaan.
Dalam permohonannya, para pemohon meminta agar MK mencabut keberlakuan Pasal 113 ayat (2) huruf f UU Hak Cipta, serta menafsirkan ulang Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, dan Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta.