Padang, (ANTARA Babel) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Kota Padang mengungkapkan jeratan Undang-Undang Pers kepada anggota marinir yang melakukan kekerasan terhadap wartawan di Padang merupakan yang pertama di Indonesia.
"Selama ini, jika ada kekerasan terahadap wartawan, pelakunya hanya dijerat dengan pasal KUHP dan mengenyampingkan Undang-Undang Pers," ujar Direktur LBH Pers Padang Roni Saputra di Padang, Rabu.
Hal itu diungkapkannya usai persidangan tiga anggota Batalyon Marinir Pertahanan Pangkalan (Yonmarharlan) II Teluk Bayur di Pengadilan Militer I-103 Padang dengan agenda pembacaan dakwaan dan pemeriksaan saksi-saksi.
Serda Ade Carsim, Serda Sadam Husein, dan Pratu Dwi Eka Prasetya yang merupakan terdakwa dijerat dengan pasal berlapis yakni pasal 170 KUHP dan pasal 351 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP serta pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,
Menurut Roni, jika ada kasus yang melibatkan kekerasan terhadap wartawan memang selayaknya dijerat dengan UU Pers walau hanya sekedar menghalang-halangi. Hal ini dilakukan guna memberikan efek jera sehingga tidak terulang lagi di kemudian hari.
"Baru ini ada hakim yang menjerat pelaku kekerasan terhadap waartawan dengan UU Pers dan kita memberikan apresiasi dan berharap ini dapat dilakukan hakim-hakim lain," katanya.
Persidangan kasus itu terkait pemukulan wartawan saat meliput proses penertiban kafe yang diduga digunakan sebagai tempat maksiat di kawasan Bukit Lampu Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kota Padang pada 29 Mei 2012.
Apriyandi (Kontributor Metro TV), Budi Sunandar (Sindo TV), Roni (Indosiar), Indra Khew (SCTV), Ridwan (Fotografer Padang Ekspres), Julian (Trans 7) dan Jamaldi (Favorit TV) menjadi korban pemukulan dan peralatan jurnalisnya dirusak oleh sekelompok oknum marinir.
Dalam sidang hari ini enam saksi dihadirkan dalam persidangan yang dipimpin Chk Roza Maimun. Dalam persidangan terungkap bahwa sejumlah anggota marinir memang melakukan pemukulan serta merampas dan merusak kamera milik wartawan saat meliput penertiban kafe yang diduga digunakan sebagai tempat asusila.
"Saat saya mengambil gambar, tiba-tiba didatangi anggota TNI. Kamera saya langsung dirampas serta menarik telinga saya dengan kuku hingga berdarah/ Saya juga dipukuli pada bagian punggung, pinggul, bahu, dan kepala," terang Budi Sunandar.
Budi mengatakan, oknum marinir tersebut juga tidak memedulikan saat dirinya menunjukkan identitas berupa kartu pers. "Saya tetap dibentak dan dipukul," katanya.
Sementara itu, ketua majelis hakim Chk Roza Maimun belum bisa memastikan vonis terhadap marinir yang melakukan kekerasan itu karena masih ada pemeriksaan saksi lainnya yang akan dilangsungkan pada Senin (16/12).
"Jika ada aparat yang melakukan kekerasan vonis yang sudah pasti berupa penundaan naik pangkat hingga beberapa periode," katanya.
(T.KR-IWY)