Jakarta (Antara Babel) - Pemerhati media sosial Nukman Luthfie menilai
pemblokiran Telegram merupakan langkah tepat untuk mencegah penyebaran
konten teror dalam jangka pendek, namun tidak untuk jangka panjang.
Dalam jangka panjang kebijakan itu tidak tepat karena menurut dia manfaat aplikasi pesan maupun media
sosial lebih banyak ketimbang mudaratnya.
"Soal teror, konten
negatif, saya lebih setuju tindakan edukasi dan penegakan hukum. Bukan
blokir," kata Nukman saat dihubungi melalui telepon, Sabtu.
Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Jumat (14/7) meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan
pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas Domain Name System (DNS)
milik Telegram.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan pemblokiran website
Telegram didasari bukti kuat penyalahgunaan aplikasi berbagi pesan itu untuk
menyebarkan paham yang berkaitan dengan terorisme.
Kementerian
Komunikasi dan Informatika, menurut dia, juga sudah meminta Telegram
membuat standar operasional penanganan konten radikalisme sebagai syarat
pembatalan blokir terhadap 11 Domain Name System (DNS).
Berkenaan dengan itu, Nukman mengatakan Telegram belum tentu memenuhi permintaan pemerintah itu.
"Prinsip mereka, privasi pengguna adalah nomor satu, bahkan di Rusia
juga diblokir karena nggak mau tunduk ke pemerintah," katanya.
Tidak hanya Indonesia yang memblokir layanan dari Telegram, China, Iran dan Arab Saudi telah bertindak lebih dulu.
Rusia bulan lalu juga mengancam akan memblokir Telegram bila tidak memenuhi peraturan pemerintah.
Pengamat Nilai Pemblokiran Telegram Tak Tepat Untuk Jangka Panjang
Sabtu, 15 Juli 2017 15:01 WIB