Jakarta (Antara Babel) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mengklarifikasi terhadap saksi Hilda Yulistiawati selaku notaris terkait
pembuatan akta-akta PT Murakabi Sejahtera dalam penyidikan terkait
kasus proyek KTP-elektronik (KTP-e).
"Hal ini dilakukan untuk menelusuri siapa pemilik sebenarnya dari
PT Muarakabi tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta,
Kamis.
KPK pada Kamis (3/8) memeriksa Hilda Yulistiawati sebagai saksi
untuk tersangka Setya Novanto dalam penyidikan tindak pidana korupsi
pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk
Kependudukan secara nasional (KTP-e).
Sebelumnya, KPK juga mendalami Irvanto Hendra Pambudi Cahyo,
keponakan Ketua DPR RI Setya Novanto terkait aspek kepemilikan PT
Murakabi Sejahtera.
KPK pada Senin (31/7) memeriksa Irvanto Hendra Pambudi Cahyo juga untuk tersangka Setya Novanto.
"Kami dalami tentang aspek kepemilikan PT Murakabi yang juga masuk
namanya pada salah satu tim yang dibahas di tim Fatmawati," kata Juru
Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (1/8).
Lebih lanjut, Febri menyatakan pemeriksaan saksi-saksi untuk
tersangka Setya Novanto selain fokus pada proses pertemuan-pertemuan dan
pembahasan anggaran termasuk indikasi aliran dana, KPK juga menggali
lebih jauh peran dari saksi-saksi yang diduga juga terkait dengan
tersangka dalam proses pengadaan KTP-e.
Sebelumnya, Irvanto Hendra Pambudi, keponakan Ketua DPR Setya
Novanto, mengaku memimpin konsorsium Murakabi Sejahtera yang merupakan
salah satu peserta lelang KTP elektronik.
"Saat KTP-elektronik, Murakabi ikut serta menjadi Ketua Konsorsium
Murakabi, lead-nya saya sendiri," kata Pambudi, dalam sidang di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, di Jakarta, Kamis (27/4).
Dia bersaksi untuk dua terdakwa, yaitu mantan Direktur Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, dan
mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan pada
direktorat jenderal itu, Sugiharto.
Pambudi dalam sidang pun mengaku sebagai keponakan Novanto. Dalam
dakwaan, Novanto disebut sebagai orang yang punya pengaruh besar untuk
menentukan anggaran KTP elektronik di DPR diputuskan. "Setya Novanto om
saya dari ibu," ungkap dia.
Diapun mengaku aktif di Partai Golkar tempat pamannya memimpin dan bahkan menjadi wakil bendahara DPP Golkar.
"Waktu KTP elektronik itu bukan partai, tapi Kosgoro 2009-2011,
tapi saya tidak aktif. Setelah 2011 saya di DPP Partai Golkar sebagai
anggota bagian kepemudaan dan saat ini sejak periode 2016 saya menjadi
Wakil Bendahara Partai," katanya.
Pambudi mengaku PT Murakabi itu ia beli pada 2006 dengan membeli
saham adik Andi Narogong, Vidi Gunawan. Dia sudah mengenal Vidi yang
merupakan teman SMA-nya di Bogor sehingga Pambudi menjabat sebagai
manajer pengembangan bisnis PT Murakabi Sejahtera pada 2007-2010 dan
pada 2010 ia menjadi direktur pada perusahaan itu.
"Kami bergerak bidang printing, lalu security printing. Selama mulai
Murakabi ikut, kami berkutat seputar bidang printing security dan
printing itu saja awalnya kenapa bisa masuk ke KTP elektronik," kata
dia.
Dia pun mengaku pernah datang ke ruko Fatmawati tempat Andi Narogong
mengatur para pengusaha untuk mengerjakan proyek KTP elektronik untuk
mengatur pelelangan sehingga konsorsium yang mereka inginkan dapat
menang lelang.
"Pernah sekali datang ke ruko Fatmawati sekitar akhir 2010. Saat
itu ada rekan saya dari PT Pura yang menginformasikan bahwa ada
pertemuan sejumlah perusahaan percetakan di ruko itu," katanya.
Ruko Fatmawati merupakan tempat Andi Narogong mengatur para
pengusaha untuk mengerjakan proyek KTP elektronik untuk mengatur
pelelangan sehingga konsorsium yang mereka inginkan dapat menang lelang.
Diketahui juga proses lelang dan pengadaan itu diatur oleh Irman,
Sugiharto dan diinisiasi oleh Andi Agustinus yang membentuk tim
Fatmawati yang melakukan sejumlah pertemuan di ruko Fatmawati milik Andi
Agustinus.
Dalam putusan majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) dengan terdakwa Irman dan Sugiharto disebutkan beberapa
anggota tim Fatmawati yaitu Jimmy Iskandar alias Bobby, Eko Purwoko,
Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi dan Kurniawan menerima
masing-masing Rp60 juta aliran dana proyek KTP-e.
KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sebagai
tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan
KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun
2011-2012 pada Kemendagri.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang
lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto)
anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan
kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket
pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada
Kemendagri," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin
(17/7).
Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan
perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau
korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda
paling banyak Rp1 miliar.
Sebelumnya, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada
Kamis (20/7) juga telah menjatuhkan hukuman penjara tujuh tahun kepada
mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian
Dalam Negeri Irman dan lima tahun penjara kepada mantan Direktur
Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri
Sugiharto dalam perkara korupsi proyek pengadaan KTP elektronik.
KPK Klarifikasi Notaris Terkait Murakabi Dalam Kasus KTP-E
Kamis, 3 Agustus 2017 23:18 WIB