Jakarta (Antara Babel) - Mantan hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyebut
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK memutarbalikkan fakta dalam tuntutannya.
"JPU masih mendalilkan bahwa setelah saya terima uang 10 ribu dolar
AS dari Kamaludin tangal 23 Desember 2016, saya memberikan uang itu
kepada Anggita Eka Putri sejumlah 500 dolar AS. Dalil JPU tersebut
merupakan pemutarbalikan fakta," kata Patrialis saat membacakan nota
pembelaan (pledoi) dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) Jakarta, Senin.
Patrialis dalam perkara ini dituntut hukuman 12,5 tahun penjara
ditambah dengan Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai
terbukti menerima suap untuk pengurusan uji materi Undang-undang
Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi.
Selain pidana penjara, JPU KPK juga menuntut Patrialis untuk
membayar uang pengganti sejumlah harta benda yang diperolehnya dari
tindak pidana korupsi yaitu sejumlah 10 ribu dolar AS dan Rp4,043 juta
subsider 1 tahun penjara.
Menurut Patrialis, teman dekatnya Anggita Eka Putri dalam
persidangan mengatakan bahwa ia memberikan uang tersebut sekitar satu
minggu sebelum Patrialis pergi umrah pada 25 Desember 2016.
Sedangkan Kamaludin membayar utang pada 23 Desember 2016, kata Patrialis, yakni dua hari sebelum dirinya berangkat umroh.
Sejak 23 Desember 2016 sampai berangkat umrah pada 25 Desember 2016,
menurut Patrialis, Anggita tidak bertemu lagi dengannya.
"Memang pemutarbalikan fakta oleh JPU kebangetan, jadi kalau saya
berikan uang saya kepada siapapun atau diberikan apapun kepada siapapun
adalah hak saya, tidak ada urusan dengan JPU," katanya.
Namun, lanjut Patrialis, dirinya paham sekali kenapa JPU terlalu
berani memutarbalikkan fakta ini sebab memang dari awal kasusnya
memiliki beberapa misteri, yaitu hadirnya seorang wanita dalam kasus
dirinya.
"Sehingga cukup sempurna cara-cara menghancurkan nama baik, harkat dan martabat saya," tambah Patrialis.
Patrialis juga membantah soal pembelian apartemen "Casa Grande
Residence Tower Chianti" lantai 41 unit 11 tipe 2BRD seharga Rp2,2
miliar diperuntukkan untuk Anggita sehingga ia butuh uang tunai dari
pengusaha Basuki Hariman untuk melunasi apartemen itu.
"Dalil JPU tentang rencana saya ingin membeli apartemen Casa Grande
adalah bentuk nyata pemutarbalikan fakta sebab tidak benar saya mau
membeli apartemen tersebut dengan mengharapkan uang Rp2 miliar dari
Basuki Hariman," ungkap Patrialis.
Menurut Patrialis, ia memang ingin membeli apartemen untuk dirinya
karena marketing apartemen yaitu Irwan Nazif mengatakan ada diskon cukup
besar dari Rp3,4 miliar menjadi Rp2,2 miliar bila dibayar tunai.
Alasan lain adalah Irwan Nazirf menyampaikan adanya prospek hasil
sewa yang bagus bila apartemen itu disewakan kepada orang asing yaitu
sekitar Rp25-30 juta per bulan.
Patrialis mengatakan rencana pelunasan pembayaran cash melalui
perbankan sudah disampaikan di dalam persidangan bahwa istri dan anak
perempuan kandungnya telah mendatangi Irwan untuk rencana pembayaran
tersebut.
"Namun Irwan mengatakan saat itu pembelian apartemen belum bisa
dilanjutkan karena ada masalah dengan KPK sehingga istri dan anak saya
tidak bisa melunasi pembayaran apartemen tersebut. Jadi tidak benar dan
menyesatkan bila rencana pembelian apartemen saya untuk diberikan kepada
orang lain. Hal ini pun juga bersifat fitnah," tegas Patrialis.
Ia mengaku bahwa penerimaan uang 10 ribu dolar AS dan biaya makan
sebesar Rp4,043 juta tidak sebanding dengan pengabdiannya selama 20
tahun di bidang hukum.
"Uang itu hanya untuk mempengaruhi putusan yang pada kenyataannya
putusan itu tidak berpengaruh dan juga tidak bisa dipengaruhi maka hal
tersebut sangat tidak benar dan tidak masuk akal, bahkan terlalu naif
sebab bagaimana pungkin saya mengorbankan dan mencederai reputasi dan
nama baik saya selama puluhan tahun di bidang hukum," jelas Patrialis.
Dalam surat tuntutannya, JPU KPK menjelaskan bahwa Basuki Hariman
sebagai "beneficial owner" (pemilik sebenarnya) dari perusahaan PT
Impexindo Pratama dan General Manager PT Impexindo Pratama Ng Fenny
terbtki memberikan uang sejumlah 50 ribu dolar AS dan Rp4,043 juta
melalui seorang perantara bernama Kamaludin yang ditujukan untuk
Patrialis Akbar.
Pemberian ini agar mempengaruhi putusan Perkara Nomor 129/ PUU-XIII/
2015 terkait uji materi atas UU No 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
UU No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Basuki dan Ng Fenny memiliki tujuan dengan dikabulkannya permohonan
uji materi karena UU itu menjadikan ketersediaan daging sapi dan kerbau
lebih banyak dibanding permintaan serta harganya menjadi lebih murah.
"Uang sejumlah 10 ribu dolar AS dan Rp4,043 juta dipergunakan untuk
kepentingan terdakwa Patrialis dan uang 40 ribu dolar AS dipergunakan
untuk kepentingan Kamaludin," kata jaksa KPK Lie Putra Setiawan.
Pemberian itu diawali dari pertemuan pada 14 September 2016 di
restoran DKevin, Graha Intiland milik Dave Kevin Ariman yang merupakan
anak Basuki.
Saat itu Patrialis menyarankan agar para pemohon "judicial review
membuat permohonan kepada hakim MK agar segera mengeluarkan putusan.
Penyerahan uang pertama dilakukan Basuki kepada Kamaludin pada 22
September 2016 di restoran Paul Pacific Place sejumlah 20 ribu dolar AS.
Pemberian kedua pada 13 Oktober 2016 di retoran di Hotel Mandarin Oriental Jakarta sebesar 10 ribu dolar AS
Selanjutnya pada 23 Desember 2016 di area parkir Plaza Buaran
sejumlah 20 ribu dolar AS diberikan kepada Kamaludin yang sejumlah 10
ribu dolar AS diberikan Kamaludin kepada Patrialis untuk kepentingan
umrah.
Lebih lanjut Basuki dan Ng Fenny menjanjikan sesuatu kepada
Patrialis Akbar yaitu pada 19 Oktober 2016 Basuki menyampaikan kepada
Kamaludin punya kemampuan uang Rp2 miliar untuk mempengaruhi hakim yang
belum menyampaikan pendapat.
Sidang dilanjutkan dua pekan lagi untuk pembacaan vonis.