Jakarta (Antara Babel) - Wakil Ketua Panitia Khusus Hak Angket DPR
terkait Tugas dan Kewenangan KPK, Taufiqulhadi berkeyakinan bahwa
rekomendasi akhir Pansus terkait kinerja KPK dapat diterima semua pihak
karena berdasarkan penyelidikan yang objektif.
"Saya rasa jika pandangan akhir Pansus sifatnya objektif, maka semua pihak akan mendukung," kata Taufiqulhadi di Jakarta, Jumat.
Ia meyakini rekomendasi Pansus KPK akan berbeda dengan Pansus
Pelindo II karena ketuanya menyampaikan rekomendasi secara sepihak tanpa
konsultasi dengan anggota lain.
Politisi Partai Nasdem itu mengatakan temuan Pansus Angket KPK
adalah bagian dari penyelidikan sehingga Pansus akan terus mencari
fakta.
"Soal mencari fakta akan jalan terus, bukti-bukti temuan ini akan jadi dokumen DPR," ujar dia.
Anggota Pansus Angket KPK, Hendry Yosodiningrat menilai Pansus harus
bisa menyakinkan pemerintah dan publik bahwa temuan yang diperoleh
adalah suatu keadaan yang harus diperbaiki.
Karena itu menurut dia, siapapun yang mendengar dan mengetahuinya
pasti menerima rekomendasi Pansus misalnya mengembalikan kewenangan yang
dimiliki Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
"Karena mereka melaksanakan sebagian dari kewenangan yang dimiliki
oleh Polisi selaku penyidik, dan penuntutan dari Kejaksaan," ujar dia.
Pansus Hak Angket KPK menyampaikan 11 poin temuan sementara selama
menjalankan tugas penyelidikan terkait tugas dan kewenangan KPK, yaitu:
1. Dari aspek kelembagaan. KPK bergerak menjadikan dirinya sebagai
lembaga superbody yang tidak siap dan tidak bersedia dikritik dan
diawasi, serta menggunakan opini media untuk menekan para pengkritiknya.
2. Kelembagaan KPK dengan argumen independennya mengarah kepada
kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara. Hal
ini sangat mengganggu dan berpotensi terjadinya abuse of power dalam
sebuah negara hukum dan negara demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
3. KPK yang dibentuk bukan atas mandat Konstitusi akan tetapi UU No. 30
Tahun 2002 sebagai tindak Ianjut atas perintah Pasal 43 UU 31 Tahun 1999
sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, sudah sepatutnya mendapatkan pengawasan yang ketat dan
efektif dari lembaga pembentuknya (para wakil rakyat) di DPR secara
terbuka dan terukur.
4. Lembaga KPK dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK
belum bersesuaian atau patuh atas azas-azas yang meliputi azas kepastian
hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan
proporsionalitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU KPK.
5. Dalam menjalankan fungsi koordinasi, KPK cenderung berjalan sendiri
tanpa mempertimbangkan esksistensi, jati diri, kehormatan dan
kepercayaan publik atas lembaga-lembaga negara, penegak hukum. KPK lebih
mengedepankan praktek penmdakan melalui pemberitaan (opini) daripada
politik pencegahan.
6. Dalam hal fungsi supervisi, KPK Iebih cenderung menangani sendiri
tanpa koordinasi, dibandingkan dengan upaya mendorong, memotivasi dan
mengarahkan kemban instansi Kepolisian dan Kejaksaan.
KPK cenderung ingin menjadi lembaga yang tidak hanya di Pusat tapi
ingin mengembangkan jaringan sampai ke daerah. Yang sesungguhnya KPK
dibentuk lebih pada Fungsi Koordinasi dan Supervisi. Adapun
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Iebih pada fungsi berikutnya
atau "Trigger Mechanism".
7. Dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK
sama sekali tidak berpedoman pada KUHAP dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia bagi para pihak yang menjalani pemeriksaan.
Didapatkan
bebagai praktek tekanan, ancaman, bujukan dan janji-janji. Bahkan juga
didapatkan kegiatan yang membahayakan fisik dan nyawa. Pencabutan BAP
dipersidangan, kesaksian palsu yang direkayasa, hal-hal itu terjadi dan
kami dapatkan. Ke depan tentunya hal-hal itu perlu ada langkah-langkah
perbaikan.
8. Terkait dengan SDM aparatur KPK, kembali KPK dengan argumen
independennya merumuskan dan menata SDM yang berbeda dengan unsur
aparatur pada lembaga negara pada umumnya yang patuh dan taat kepada UU
No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Aparatur Negara
lainnya seperti UU Kepolisian, UU Kejaksaan.
KPK dengan argumen independen tidak tepat dan tidak memiliki Iandasan
hukum yang cukup hanya dengan PP. Apalagi PP No. 103 Tahun 2012 tentang
SDM KPK sebagaimana telah dirubah dari PP No. 63 Tahun 2005,
mendasarkannya kepada UU KPK yang mengatur tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi bukan tentang SDM Aparatur.
Walaupun ada putusan
MK Nomor 109 Tahun 2015 atas hal tersebut, kedepan harus dikembalikan
dan diperbaiki secara hukum yang benar, agar tidak menimbulkan dualisme
pengaturan di bidang aparatur negara di internal KPK seperti adanya
organisasi wadah pegawai, penyidik independen yang bisa berbeda
kebijakan dengan atau bagi aparatur KPK lainnya.
9. Terkait
dengan penggunaan anggaran, berdasarkan hasil audit BPK, banyak hal yang
belum dapat dipertanggunjawabkan dan belum ditindaklanjuti atas temuan
tersebut. Untuk itu dibutuhkan audit lanjutan BPK untuk tujuan tertentu.
Dari audit tersebut dapat diketahui secara pasti pencapaian sasarannya
utamanya yang terkait dengan kinerja KPK. Ke depan BPKjuga perlu
mengaudit atas sejumlah barang-barang sitaan (BASAN) dan barang-barang
rampasan (BARAN) dari kasus-kasus yang ditangani KPK atas temuan-temuan
Pansus di 5 (lima) kantor RUPBASAN pada wilayah hukum Jakarta dan
Tangerang yang tidak didapatkan data-data BASAN dan BARAN dalam bentuk
uang, rumah, tanah dan bangunan di Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan
Rampasan Negara (RUPBASAN).
10. Terhadap sejumlah kasus yang sedang ditangani oleh KPK, Pansus
memberikan dukungan penuh untuk terus dijalankan sesuai dengan aturan
hukum positif yang berlaku dan menjunjung tinggi HAM, dan untuk itu
Komisi III DPR RI wajib melakukan fungsi pengawasan sebagaimana
dilakukan terhadap lnstansi Kepolisian dan Kejaksaan melalui Rapat-rapat
Kerja, RDP dan Kunjungan Lapangan atau Kunjungan Spesifik.
11. Akan halnya mengenai sejumlah kasus atau permasalahan yang terkait
dengan unsur pimpinan, mantan pimpinan, penyidik dan penuntut umum KPK,
yang menjadi pemberitaan di publik seperti Iaporan saudara Niko Panji
Tirtayasa di Bareskrim, kasus penyiraman penyidik Novel Baswedan,
kematian Johannes Marliem, rekaman kesaksian saudari Miryam S Haryani,
pertemuan Komisi Ill DPR dengan penyidik KPK : kiranya Komisi III DPR RI
dapat segera mengundang pihak KPK dan POLRI dalam melaksanakan fungsi
pengawasan agar tidak terjadi polemik yang tidak berkesudahan.