Obat keras daftar G atau gevaarlijk harus diserahkan dengan resep dokter untuk menghindari penyalahgunaan obat. Pengeluaran obat keras oleh apotek diperbolehkan tanpa resep dokter jika obat tersebut masuk ke dalam daftar obat wajib apotek (DOWA).
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar tahun (2013) Dari 35,7 persen rumah tangga yang menyimpan obat, 81,9 persen, rumah tangga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep dokter. Variasi antar provinsi proporsi tertinggi di Lampung (90,5%) dan terendah di Gorontalo (70,8%). Demikian halıya dengan obar keras golongan antibiotika, 86 persen rumah tangga menyimpan antibiotika tanpa resep, dengan proporsi tertinggi di Kalimantan Tengah (93,4%) dan terendah di Gorontalo (74,7%).
Pemberian obat keras tanpa resep dokter dikhawatirkan dapat menimbulkan berbagai dampak yang merugikan konsumen, seperti dapat mengancam keselamatan jiwa, menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, menimbulkan atau meningkatkan kasus resistensi (untuk antibiotik), meningkatkan biaya pengobatan, memperparah penyakit, dan penyalahgunaan obat
Adanya pembelian obat keras tanpa resep dokter di masyarakat terjadi dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap obat keras. Hal ini bukan berarti juga bahwa apoteker atau pihak tenaga kefarmasian tidak turut terlibat dalam penggunaan obat keras tanpa resep dokter.
Apoteker atau tenaga kefarmasian bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan kefarmasian terhadap masyarakat terutama penggunaan obat keras itu sendiri. Disini juga kurangnya pengawasan regulasi pemerintah terhadap berbagai apotek di Indonesia terutama terkait penggunaan obat keras tanpa resep dokter.
Penulis: Annisa Febria *)
*) Annisa Febria adalah mahasiswa Poltekkes Kemenkes Pangkalpinang
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar tahun (2013) Dari 35,7 persen rumah tangga yang menyimpan obat, 81,9 persen, rumah tangga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep dokter. Variasi antar provinsi proporsi tertinggi di Lampung (90,5%) dan terendah di Gorontalo (70,8%). Demikian halıya dengan obar keras golongan antibiotika, 86 persen rumah tangga menyimpan antibiotika tanpa resep, dengan proporsi tertinggi di Kalimantan Tengah (93,4%) dan terendah di Gorontalo (74,7%).
Pemberian obat keras tanpa resep dokter dikhawatirkan dapat menimbulkan berbagai dampak yang merugikan konsumen, seperti dapat mengancam keselamatan jiwa, menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, menimbulkan atau meningkatkan kasus resistensi (untuk antibiotik), meningkatkan biaya pengobatan, memperparah penyakit, dan penyalahgunaan obat
Adanya pembelian obat keras tanpa resep dokter di masyarakat terjadi dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap obat keras. Hal ini bukan berarti juga bahwa apoteker atau pihak tenaga kefarmasian tidak turut terlibat dalam penggunaan obat keras tanpa resep dokter.
Apoteker atau tenaga kefarmasian bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan kefarmasian terhadap masyarakat terutama penggunaan obat keras itu sendiri. Disini juga kurangnya pengawasan regulasi pemerintah terhadap berbagai apotek di Indonesia terutama terkait penggunaan obat keras tanpa resep dokter.
Penulis: Annisa Febria *)
*) Annisa Febria adalah mahasiswa Poltekkes Kemenkes Pangkalpinang
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024