Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muti Arintawati menyatakan bahwa produk kosmetik yang beredar di Indonesia wajib memenuhi sertifikasi halal.
"Produk kosmetik wajib memiliki sertifikasi halal," ujar Muti dalam webinar yang diikuti dari Jakarta, Jumat.
Menurut dia sertifikasi halal telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Khusus untuk produk kosmetik, kewajiban sertifikasi halal ditetapkan sejak 17 Oktober tahun ini.
Dengan begitu, perusahaan kosmetik masih memiliki waktu lima tahun ke depan hingga 2026 untuk memenuhi ketentuan regulasi tersebut.
"Saat ini, kita masih dalam masa transisi. Perusahaan kosmetik masih memiliki waktu lima tahun ke depan hingga 2026, untuk mempersiapkan pemenuhan regulasi ini dengan melakukan sertifikasi halal produk," kata dia.
Muti menjelaskan dari data LPPOM MUI, jumlah perusahaan kosmetik yang sudah melakukan sertifikasi halal sebanyak 794 perusahaan, dengan sertifikat halal sejumlah 1.913, dan produk kosmetik yang telah tersertifikasi halal sejumlah 75.385 produk sejak 2017.
"Kami mendorong agar perusahaan kosmetik segera melakukan sertifikasi demi menjamin keamanan produk serta nilai tambah bagi produsen," kata dia.
Sementara itu, Direktur Registrasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM RI Dwiana Andayani mengatakan pentingnya label kosmetik yang memuat seluruh informasi demi jaminan keamanan produk, termasuk label halal.
Dalam peraturan BPOM Nomor 30 Tahun 2020 tentang Persyaratan Teknis Penandaan Kosmetika, dalam Pasal 2 memuat bahwa penandaan pada label kosmetik harus memenuhi beberapa kriteria.
Pertama, lengkap dengan mencantumkan semua informasi yang dipersyaratkan, seperti nama produk, keunggulan, cara penggunaan, bahan, produsen, masa kedaluarsa, dan sebagainya.
Kedua, objektif dengan memberikan informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh menyimpang dari sifat keamanan dan kemanfaatan kosmetika.
Ketiga, tidak menyesatkan dengan memberikan informasi yang jujur, akurat, dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak boleh memanfaatkan kekhawatiran masyarakat akan suatu masalah kesehatan.
"Terakhir, tidak menyatakan seolah-olah sebagai obat atau bertujuan untuk mencegah suatu penyakit," kata dia.