Jakarta (Antara Babel) - Pelaksanaan pilkada serentak yang dijadwalkan akan diselenggarakan pada Februari 2017 di 101 daerah diperkirakan akan lebih ramai diikuti pasangan calon kepala daerah.
Lebih ramai atau lebih sedikit pasangan calon kepala daerah yang maju dalam kompetisi demokrasi lima tahunan tersebut ditentukan oleh persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang dan aturan perundangan lainnya.
Salah satu syarat yang paling menentukan bagi pasangan calon kepala daerah maju dalam pilkada adalah syarat minimal dukungan, baik pasangan calon yang diusung oleh partai politik/gabungan partai politik maupun pasangan calon yang maju melalui jalur perseorangan.
Pada revisi UU No 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pilkada hampir pasti akan menurunkan syarat dukungan terhadap pasangan calon yang diusung partai politik/gabungan partai politik dari 20-25 persen menjadi 15-20 persen.
DPR RI dan Pemerintah hampir pasti akan menurunkan syarat minimal dukungan suara pasangan calon kepala daerah yang diusung partai politik/gabungan partai poitik.
Syarat minimal dukungan pasangan calon kepala daerah yang diusung partai politik/gabungan akan diturunkan menjadi 15-20 persen pada revisi UU Pilkada yang semula dijadwalkan akan disetujui menjadi UU pada 28 April 2016.
Namun, karena Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo masih akan mengkonsultasikan tiga hal krusial dalam revisi UU Pilkada dengan Presiden Joko Widodo maka persetujuan revisi UU Pilkada dijadwalkan ditunda hingga masa persidangan berikutnya yakni akhir Mei 2016.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Lukman Edy, tiga hal krusial yang dikonsultasikan Menteri Dalam Negeri kepada Presiden, yakni soal syarat dukungan calon, soal calon kepala daerah mundur atau tidak dari jabatannya, serta soal praktik politik uang.
Lukman Edy menjelaskan, pada rapat kerja antara Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Senin (24/4), Komisi II dan Pemerintah sama-sama dapat menerima jika syarat minimal dukungan calon kepala daerah yang diusung partai politik/gabungan partai poitik diturunkan dari 20-25 persen menjadi 15-20 persen.
Namun, usulan penurunan syarat minimal dukungan terhadap calon kepala daerah tersebut, kata Lukman, belum dibuat kesepakatan, karena Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo masih akan berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo.
"Jika konsultasi tersebut berjalan cepat dan Presiden dapat menyetujuinya, maka revisi UU Pilkada dapat disetujui pada akhir masa persidangan ini yakni Kamis (28/4). Jika konsultasi itu lambat apalagi jika Presiden belum menyetujui, maka pembahasannya diteruskan pada masa persidangan berikutnya hingga akhir Mei 2016," kata Lukman.
Kemudian, pada rapat kerja antara Komisi II DPR RI dan Mendagri, pada Kamis (28/4), sebelum rapat paripurna penutupan masa persidangan keempat tahun 2015-2016, disepekati pembahasan RUU Pilkada ditunda hingga ke masa persidangan berikutnya, serta dijadwalkan akan disetujui pada akhir Mei
Calon Parpol vs Calon Perseorangan
Salah satu persoalan krusial pada pembahasan revisi UU Pilkada atau RUU Pilkada adalah syarat dukungan terhadap pasangan calon yang diusung partai politik/gabungan partai politik serta pasangan calon yang maju melalui jalur perseorangan.
Dalam UU No 8 tahun 2015 tentang Pilkada, syarat dukungan tersebut adalah 20-25 persen untuk pasangan calon yang diusung parpol/gabungan parpol serta 6,5-10 persen pasangan calon yang maju melalui jalur perseorangan.
Lukman Edy menjelaskan, dalam beberapa kali rapat kerja antara Komisi II DPR RI dan Menteri Dalam Negeri, terjadi perdebatan soal syarat dukungan minimal.
Fraksi-fraksi di Komisi II DPR RI menilai, syarat minimal dukungan yang diatur dalam UU Pilkada tahun 2015 belum adil sehingga perlu diselaraskan.
"Di daerah berpenduduk antara 2-6 juta jiwa, jika dikonversi dengan syarat dukungan calon maka lebih berat bagi calon dari partai politik," katanya.
Menurut Lukman, DPR RI mengajukan opsi, syarat dukungan terhadap calon perseorangan dinaikkan menjadi 10-15 persen atau syarat dukungan terhadap calon dari parpol diturunkan menjadi 15-20 persen.
Karena Pemerintah bersikukuh syarat dukungan calon perseorangan tetap 6,5-10 persen, kata dia, maka DPR mengusulkan syarat dukungan calon dari parpol yang diturukan.
"Pemerintah dapat menerimanya, tapi akan dikonsultasikan dulu ke Presiden," kata Lukman.
DPR RI juga menyoroti, syarat calon kepala daerah mundur atau tidak dari jabatannya, adalah persyaratan yang diskriminatif, sehingga harus juga diselaraskan.
UU Pilkada tahun 2018 mengatur, angggota legislatif yang maju sebagai calon kepala daerah harus mundur dari keanggotaan di DPR RI dan DPRD setelah ditetapkan KPU sebagai calon kepala daerah, sedangkan calon kepala daerah "incumbent" tidak perlu mundur dari jabatannya tapi cuma cuti.
"Ini persyaratan diskriminatif yang membuat pasangan calon kepala daerah pada pilkada serentak tahun 2015 jadi tidak ramai," katanya.
Menurut Lukman, revisi UU No 8 tahun 2015 tentang Pilkada semangatnya adalah menghapus diskriminasi terhadap calon kepala daerah untuk membuka kesempatan lebih luas bagi warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk maju sebagai calon kepala daerah.
Diskriminasi yang muncul, kata dia, karena calon "incumbent" tidak mundur, sehingga sejak ditetapkan KPU sebagai calon kepala daerah dapat memanfaatkan jabatannya untuk melakukan kampanye lebih dulu dengan dalih menyosialisasikan program kerja.
"Komisi II DPR RI sudah melakukan konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi (MK), dan pimpinan MK menilai UU Pilkada adalah diskriminatif," katanya.
Karena itu, dalam revisi UU Pilkada, Komisi II DPR RI menghapus diskriminasi tersebut dengan menghilangkan aturan anggota legislatif yang maju sebagai calon kepala daerah mundur dari keanggotaan di DPR RI dan DPRD.
"Anggota legislatif hanya mundur dari jabatannya di alat kelengkapan dewan, tapi tidak mundur dari keanggotaan di DPR RI dan DPRD," katanya.
Tidak tergesa-gesa
Komisi II DPR RI dan Menteri Dalam Negeri pada rapat kerja, Kamis (28/4) sepakat menunda pembahasan RUU Pilkada ke masa persidangan kelima pada pertengahan Mei 2016, karena masih ada beberapa poin krusial yang belum disetujui.
Menurut Lukman Edy, pada rapat kerja antara Komisi II dan Menteri Dalam Negeri, kedua pihak memiliki pandangan yang sama bahwa penyelesaian pembahasan RUU Pilkada perlu menghasilkan hasil terbaik dan tidak tergesa-gesa.
DPR dan Pemerintah, kata dia, masih memungkinkan untuk menyetujui pembahasan RUU Pilkada hingga akhir Mei mendatang, karena KPU akan melakukan tahapan pilkada serentak mulai Juni 2016.
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo memprediksi pengesahan revisi UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada akan mundur dari rencana awal pada akhir April ini menjadi sekitar akhir Mei.
Menurut Tjahjo, pembahasan ini sebaiknya tidak tergesa-gesa tapi daftar inventaris masalah yang ada harus dirinci secara baik dan cermat.
"Meskipun DPR RI reses, tapi tim perumus akan tetap bekerja. Jadi, pada masa persidangan berikutnya akan dilanjutkan dibahas hingga akhir Mei selesai," kata Tjahjo, Kamis di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (28/4).
Tjahjo menegaskan, meski ada keterlambatan persetujuan RUU Pilkada menjadi UU, tapi tidak mengganggu jadwal tahapan Pilkada serentak 2017 yang dilakukan KPU mulai Juni 2016.
Menurut Lukman Edy, jika nanti RUU Pilkada disetujui menjadi UU dengan syarat minimal dukungan calon kepala daerah dari parpol 15-20 persen serta calon dari legislatif tidak mundur, maka pasangan calon pada pilkada serentak tahun 2017 akan lebih ramai.
"Jika pasangan calon kepala daerah lebih banyak yang berkompetisi dan terbuka peluang lebih besar bagi putra-putri bangsa, maka hasil yang dicapai juga akan lebih baik," katanya.