Pangkalpinang (ANTARA) - Makin banyak saja anak-anak, misalnya kelas 1 SD, yang berkomunikasi dengan teman- temannya dengan menggunakan media sosial. Ada juga yang meng-update status seperti di WA atau platform media sosial lain yang kemudian dikomentari teman-temannya, juga sesama anak- anak. Terjadi juga perundungan yang dilakukan anak-anak pada anak-anak lain melalui media sosial.
Mungkin apa yang terjadi pada sebagian kecil anak-anak itu, tidak mencerminkan kondisi berdasarkan hasil survei yang diterbitkan dalam laporan Digital Civility Index (DCI) yang menempatkan netizen Indonesia sebagai yang rendah sopan santunnya di dunia digital. Namun data laporan tersebut menunjukkan pentingnya kita menjaga sopan santun di dunia digital. Media sosialnya, misalnya, bukan dunia bebas sopan santun karena di dunia digital pun kita mesti tunduk pada aturan sopan santun itu dalam berinteraksi dengan orang lain.
Di media sosial, praktik perundungan yang disebut cyberbullying berlangsung. Mengejek, merendahkan, menjadikan bahan lelucon, melecehkan, tidak mengapresiasi orang lain menjadi hal yang dianggap lumrah dilakukan beberapa orang melalui media digital. Hal ini juga yang dilakukan anak-anak usia SD.
Fenomena cyberbullying muncul dalam berbagai kasus dan bentuknya dan bahkan sudah memakan korban. Kemudahan berkomunikasi melalui media sosial dianggap mendorong orang berkomunikasi tanpa memikirkan dampak atau menilai apakah komunikasinya itu merugikan orang lain atau tidak.
Apa yang dikemukakan di atas membawa kita pada soal netiquette atau biasa dindonesiakan dengan netiket untuk menunjukkan sopan-santun dalam berinteraksi di dunia digital. Netiquette ini ada yang menyebut merupakan singkatan dari network etiquette, ada juga yang menyebutnya merupakan singkatan internet etiquette. Kemudahan berkomunikasi diidealkan mestinya didampingi dengan kesadaran dan praktik etiket berkomunikasi juga.
Dalam pandangan banyak pakar, kini manusia hidup pada jaman dapat melakukan komunikasi dengan mudah. Nyaris tidak ada kendala teknis yang menyulitkan manusia berkomunikasi satu sama lain. Masalahnya, justru terletak pada aspek etika komunikasinya.
Penyebaran berita bohong, misinformasi, disinformasi dan hal lain yang sejenis menunjukkan bahwa persoalan komunikasi manusia saat ini adalah pada soal etika berkomunikasi.
Persoalan etika komunikasi ini ternyata melanda hampir semua lapisan umur. Ada orang tua yang membuat konten yang menyebar kebohongan, ada anak muda yang mengunggah konten cacian, ada pula konten di media sosial yang dibuat anak-anak yang isinya tidak menunjukkan kepatutan.
Kemudahan berkomunikasi yakni kemudahan menyebarluaskan pesan komunikasi, yang tidak disertai kesadaran etika komunikasi melahirkan kenyataan tersebut. Kita makin dikelilingi pesan-pesan komunikasi yang secara etis tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Hal tersebut menunjukkan pentingnya untuk selalu mengingatkan semua pihak untuk memegang kesantunan saat berkomunikasi, termasuk berkomunikasi melalui media sosial. Bahkan dianggap justru merupakan bagian penting dari komunikasi itu sendiri, yakni untuk sopan dan santun dalam melakukan komunikasi. Media sosial bukanlah dunia yang bebas dari soal etika, namun sama seperti di dunia nyata, di dunia digital ada etika yang sebagian besar sama dengan di dunia nyata dan dalam beberapa hal agak berbeda dengan dunia nyata.
Etika Komunikasi untuk PAUD
Anak-anak usia dini saat ini dapat dikatakan merupakan penduduk asli dunia digital (digital natives). Mereka besar dan dibesarkan bersama perangkat digital dan terlibat dalam komunikasi digital. Sampai batas tertentu anak-anak usia dini itu juga sudah bisa dan biasa mengoperasikan aplikasi tertentu untuk menelusur konten di media digital.
Ketika sudah mampu baca tulis, bahkan anak-anak digital natives itu berkomunikasi secara tekstual dengan teman-temannya. Termasuk mengkomunikasikan eksistensi dirinya dengan menulis status di media sosial dan memancing rekan-rekannya untuk berkomentar. Apalagi dengan adanya perasaan bebas berkomunikasi apa saja di media sosial, maka tak jarang perilaku yang tidak dibenarkan di dunia nyata dilakukan di media sosial.
Karena itu, penting untuk membelajarkan sejak dini bahwa media sosial itu bukan dunia bebas nilai. Melainkan tetap merupakan dunia yang mesti terikat pada nilai-nilai dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama. Dunia digital itu bukan dunia yang membolehkan orang mencaci, meledek, mengejek, merendahkan atau melecehkan siapa pun. Tapi merupakan dunia yang membantu manusia memperbaiki dan memperlancar interaksi sosial dan komunikasi di antara sesamanya.
Menekankan pembelajaran pentingnya menghormati nilai-nilai dalam berinteraksi dan berkomunikasi melalui media sosial merupakan bagian penting dari pembentukan karakter atau akhlak mulai seorang siswa. Karena itu penting untuk ditanamkan soal nilai-nilai itu sejak dini, sejak anak mulai akrab dengan media digital. Karena anak-anak usia dini itu memang merupakan anak dari digital native.
Wajar jika soal netiquette ini masuk ke dalam materi pembelajaran, atau setidaknya topik bahasan, dalam kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pembahasannya mulai dari memperkenalkan soal sopan santun bermedia sosial sampai dengan menunjukkan kesantunan saat berinteraksi dan berkomunikasi melalui media sosial. Juga dibelajarkan bagaimana memilih kata yang tepat dan santun dalam berkomunikasi melalui media sosial. Termasuk juga menghindari kata-kata umpatan dan semacamnya saat menyaksikan tayangan misalnya di Youtube atau ketika memainkan game pada gadgetnya.
Tentu saja di dalamnya, juga akan ada permainan-permainan edukatif. Seperti simulasi saat merespons kiriman video orang lain melalui media sosial atau saat mengomentari isi konten.
Bahkan lebih dari itu, dikembangkan pula kemampuan anak usia dini untuk menilai baik buruknya isi konten di media sosial atau ungkapan yang dianggap patut dan santun saat memberikan tanggapan terhadap konten media sosial yang berupa audio atau video.
Pada sisi lain, guru pun dapat membantu anak didiknya di PAUD untuk memilihkan konten yang bermakna edukatif dan mengontrol konten apa yang disaksikan anak didiknya. Karena itu, para guru pun mesti akrab dengan konten digital dan penguasaan literasi digital yang cukup baik.
Para guru juga mesti rajin memantau konten yang banyak disaksikan anak didiknya di Tiktok, Youtube atau Instagram.
Bahkan guru ditantang untuk mengembangkan konsep pembelajaran berbasis teknologi digital ini. Misalnya, untuk anak yang sudah “pandai” mengunggah konten untuk Tiktok, diarahkan untuk hanya mengunggah konten yang menunjukkan keterampilan anak dalam menari, menyanyi atau bahkan mengajari sesama rekannya gerakan solat atau bacaan solat. Bisa juga mendorong anak untuk mengunggah konten cara membaca huruf hijaiyah atau melafalkan surat- surat pendek untuk diikuti rekan-rekan media sosialnya.
Cukup besar ruang yang disediakan media sosial untuk pengembangan kreatifitas pendidik dan anak didik. Tinggal kita pandai-pandai memanfaatkannya untuk keperluan pendidikan.
Khususnya dalam hal ini pendidikan untuk menanamkan sopan santun dan lebih khusus lagi untuk pembelajaran netiquette. Karena anak-anak itu merupakan digital native dan akan hidup pada masa manusia dalam hidupnya mengandalkan media digital dalam berinteraksi dan berkomunikasi.
Seperti yang sudah dikemukakan di awal, permasalahan komunikasi manusia pada era digital bukanlah kesulitan dalam membuat, menyampaikan dan menyebarluaskan pesan komunikasi.
Tapi masalahnya lebih banyak pada etika komunikasi. Tantangan kita sekarang dan selanjutnya adalah bagaimana membiasakan dan menjadi karakter untuk membangun komunikasi yang etis. Yakni komunikasi yang selalu memperhatikan dimensi etika, sopan santun dan nilai kepatutan dalam berkomunikasi dengan sesama.
Karena itulah maka sangat penting untuk membelajarkan netiquette ini sejak anak usia dini. Karena mereka inilah yang akan mengarungi masa depan dan menjadi pemiliki jaman yang akan datang. Netiquette yang dikembangkan dapat berbasis nilai-nilai budaya setempat dan dapat juga sebaiknya berbasis nilai-nilai agama. Dalam netiquette ini nilai yang dapat dikembangkan adalah kejujuran dan ketulusan dalam berkomunikasi dan komunikasinya berlandaskan pada kepentingan “saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran”.
Mari kita mulai menanamkan netiquette ini pada diri kita dan juga pada generasi penerus pemilik masa depan.
*) Penulis adalah Widyaiswara Kantor Guru dan Tenaga Kependidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
