Jakarta (Antaranews Babel) - Selain sebagai negara maritim, Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris, yang berarti juga banyak bergantung kepada sektor pertanian sebagai salah satu sumber pangannya.
Bahkan, pada 1985, pemerintahan RI di bawah Presiden Soeharto pernah mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) karena telah berhasil menciptakan swasembada beras.
Namun, sebagaimana siklus di dalam hidup, bisnis pertanian juga kerap mengalami perubahan baik dari segi metode hingga efektivitas penerapan sejumlah mekanisme sehingga perlu adaptasi sesuai perubahan zaman.
Untuk itu, tidak mengherankan bila saat ini, Kementerian Pertanian juga mendorong berbagai perusahaan yang bergerak di sektor pertanian dapat mengadopsi model bisnis inklusif, di mana keuntungan yang dihasilkan dari segi bisnis suatu perusahaan juga mengalir dan meningkatkan kesejahteraan para petani di sekitarnya.
Menurut Dirjen Hortikultura Kementan Spudnik Sujono, model bisnis inklusif merupakan hal yang berbeda dengan penerapan konsep seperti CSR (tanggung jawab sosial perusahaan), atau "social enterprise" karena dinilai dapat benar-benar mengangkat harkat kesejahteraan para petani yang bekerja sama di dalamnya.
Untuk itu, ujar dia, ke depannya juga diharapkan dapat dikembangkan terus-menerus model bisnis seperti ini sehingga penerimaan hasil ekspor yang dilakukan perusahaan juga bisa mengucur hingga lapisan petani yang bekerja keras dalam menggarap lahan.
Spudnik juga mengutarakan harapannya agar model kemitraan yang dijalin dalam binis inklusif terus dijalin kuat tidak hanya dengan memberikan akses ekspor, tetapi juga dalam bentuk alih teknologi.
Selain inklusif, model bisnis pada era globalisasi sekarang ini juga harus berkelanjutan.
Contoh dari dorongan Kementan untuk usaha yang berkelanjutan adalah seperti menggalakkan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Pada Peringatan HUT Ke-60 Perkebunan di Institut Pertanian (Instiper) Yogyakarta, Minggu (10/12), Direktur Jenderal Perkebunan Bambang menyebutkan total saat ini sudah ada 346 perusahaan kelapa sawit yang bersertifikat ISPO, sedangkan total perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia tercatat sekitar 1.600 buah.
Ia memaparkan, proses sertifikasi ISPO wajib dilakukan oleh seluruh perusahaan kelapa sawit sebagai bukti bahwa produk CPO Indonesia dikelola dengan budidaya yang ramah lingkungan serta berkelanjutan. Dengan begitu, CPO Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi di pasar ekspor.
Penerapan ISPO juga menjadi langkah Indonesia menghadapi isu negatif di pasar dunia, seperti deforestasi dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim global.
Karena itu, pihaknya juga meminta seluruh pelaku usaha perkebunan terutama swasta agar segera menyelesaikan sertifikat ISPO guna memperkuat daya saing sawit nasional.
Ia menambahkan standardisasi ISPO yang dituangkan melalui Peraturan Menteri Pertanian No 11/2015 tentang ISPO, mengakomodasi regulasi pemerintah mulai dari legalitas lahan, penanganan limbah sampai dengan kesejahteraan karyawan perusahaan.
Perkuat kelembagaan
Kementerian Pertanian juga mendorong "civitas academica" maupun alumni perguruan tinggi membantu memperkuat kelembagaan ekonomi petani guna meningkatkan skala usaha dan daya saing petani.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian Kementan Momon Rusmono di Yogyakarta, Rabu (6/12), mengingatkan, melalui penguatan kelembagaan ekonomi pertanian, menurut dia, petani bisa bekerja sama dengan badan usaha milik negara (BUMN) sehingga selain bisa menjual produksinya dengan harga yang layak.
Gayung juga bersambut dari dunia pendidikan, misalnya kegiatan temu bisnis yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP) Bogor bersama perguruan tinggi mitra, 21 Desember, menjadi ajang untuk mendorong dan menumbuhkan motivasi mahasiswa berwirausaha bidang pertanian.
Dalam acara tersebut, pengusaha dan motivator pertanian Wayan Supadno mengatakan peluang di dunia pertanian luar biasa asalkan mau dinikmati setiap prosesnya.
Sedangkan Dewan Pengurus Nasional Induk UMKM Soekan Perwadi mengarahkan mahasiswa untuk membuang peta jalan membangun usahanya disebut sebagai peta jalan petani muda pertanian.
Ada lima langkah yang perlu dilakukan yakni masa orientasi, masa membangun impian bisnis, masa melakukan perencanaan dan tes pasar, masa fokus dan perencanaan, hingga memulai bisnis itu sendiri.
Di tempat terpisah, Kepala Penelitian Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengingatkan, beberapa tantangan yang dihadapi petani adalah terbatasnya kesempatan kerja di pedesaan, menurunnya jumlah rumah tangga yang memiliki lahan pribadi dan semakin banyak petani yang menjadi buruh tani tanpa lahan.
Belum lagi, menurut Hizkia, gencarnya pembangunan infrastruktur yang menggerus lahan-lahan pertanian dan rendahnya harga beli komoditas pangan yang ditanam.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran bagi berbagai program yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan para petani di Tanah Air.
Hizkia menginginkan pemerintah agar sebaiknya mengalokasikan ulang anggaran untuk program perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Sejahtra (KIS) dan kartu Indonesia Pintar (KIP).
Ia mengingatkan bahwa besarnya anggaran untuk benih, pupuk dan beras subsidi senilai Rp52 triliun per tahun, atau dua kali lipat dari ketiga program sebelumnya.
Terapkan asuransi
Pemerintah, lanjutnya, dinilai juga dapat menerapkan program yaitu Asuransi Pertanian untuk Petani Padi (AUTP) yang bertujuan untuk mengompensasi kehilangan pendapatan petani akibat gagal panen yang disebabkan oleh banjir, kekeringan, hama maupun penyakit tanaman.
Untuk itu, CIPS juga ingin pemerintah dapat lebih gencar lagi dalam menyosialisasikan program Asuransi Pertanian Tani Padi (AUTP) kepada warga untuk meningkatkan animo masyarakat.
Hizkia berpendapat, rendahnya minat petani terhadap AUTP disebabkan oleh beberapa hal, di mana salah satu penyebabnya adalah minimnya edukasi yang diberikan pemerintah kepada mereka.
Para petani, lanjutnya, juga menganggap pihak-pihak yang melakukan sosialisasi sendiri juga tidak memiliki persiapan yang cukup hingga menghambat proses kompensasi AUTP. Situasi seperti ini dinilai akan berdampak pada buruknya kualitas layanan program tersebut.
Padahal, menurut dia, AUTP sebagai salah satu program penting dalam program perlindungan sosial untuk petani, selain Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Untuk itu, lanjut Hizkia, pemerintah perlu mengintensifkan berbagai upaya terkait sosialisasi AUTP, serta seharusnya melakukan evaluasi dan kajian lebih lanjut terhadap mekanisme asuransi saat ini.
Sejumlah pemerintah daerah telah berupaya menyosialisasikan program asuransi pertanian, seperti Pemerintah Kabupaten Malang yang menargetkan sekitar 5.000 hektare areal persawahan di wilayah itu bisa terlayani program asuransi pertanian pada 2018.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Kabupaten Malang M Nasri Abdul Wahid di Malang, Jawa Timur, Kamis (14/12) mengemukakan hingga menjelang akhir 2017, luas lahan pertanian sawah (padi) yang terlayani program asuransi pertanian mencapai 1.200 hektare.
Sementara itu, seluas 1.176 hektare tanaman padi musim tanam September hingga Desember di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, diikutsertakan asuransi usaha tani padi dalam rangka mengantisipasi kegagalan panen akibat cuaca tidak menentu.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Pangan Kulon Progo Tri Hidayatun di Kulon Progo, Rabu (6/12), mengatakan bahwa luas tanaman yang mengikuti asuransi usaha tani padi (AUTP) masih relatif sangat rendah.
Tri mengatakan bahwa pihaknya melakukan sosialisasi secara intensif kepada petani supaya mengikutsertakan tanaman padi dalam asuransi. Ketika tanaman padi mengalami puso atau gagal panen, mendapat ganti rugi.
Dengan adanya asuransi pertanian, maka petani juga bisa lebih merasakan keamanan karena asetnya terlindungi secara finansial, sehingga mereka juga bisa fokus mengembangkan usaha yang inklusif dan berkelanjutan.
Pertanian masa depan harus inklusif-berasuransi-berkelanjutan
Kamis, 4 Januari 2018 11:15 WIB