Jakarta (Antara Babel) - Pascaterungkapnya tersangka pelaku pedofilia di Jakarta International School (JIS), kasus kekerasan terhadap anak-anak terus bermunculan bak cendawan dan para korban melalui orang tuanya mulai berani melaporkan ke polisi.
Semua media cetak dan elektronik kompak memberitakan tindakan penyimpangan seksual tersebut oleh orang dewasa, meski harus diakui juga bahwa sejak jauh-jauh hari kasus seperti itu sudah seringkali terjadi namun pelakunya hanya dihukum ringan.
Tentunya atas peristiwa itu, menimbulkan rasa ketakutan dari para orang tua saat ini, jika dahulu yang patut diwaspadai anak gadisnya berkeliaran di luar rumah namun saat ini anak laki-laki juga patut diawasi. Pasalnya para predator sudah mulai mengintai.
Tidak salahnya berbagai lapisan masyarakat membahas sejumlah kasus pedofilia yang mengemuka pada pertengahan 2014, pertama, menimpa pada salah seorang siswa Taman Kanak-Kanak (TK) JIS oleh lima tersangka yang merupakan petugas "cleaning service". Saat ini, berkasnya tidak lama lagi akan dilimpahkan ke kejaksaan.
Tidak lama dari kejadian tersebut, muncul kembali kasus kekerasan seksual yang dilakukan AS alias Emon di Sukabumi, Jawa Barat, dengan korban anak-anak sebanyak 114 orang, sedangkan polisi sendiri menduga jumlah korbannya mencapai angka 120 orang.
Kasus serupa terulang kembali di Riau, anak berusia 15 tahun melakukan sodomi terhadap empat korban. Serta yang teranyar oknum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau berinisial DW (30), melakukan kejahatan seksual terhadap bocah laki-laki berusia 13 tahun.
Kondisi demikian membuat prihatin karena para korban menimbulkan penderitaan yang tidak bisa disembuhkan dalam waktu sesaat bahkan jika tidak "diobati" mereka di kemudian hari akan menjadi predator baru untuk membalas dendam atas masa lalunya yang kelam itu.
Masyarakat pun mulai beropinini dan memberikan usulan untuk mengebiri para pelaku kejahatan seksual itu, seperti tampak melalui media sosial.
Nah, saat ini apa yang harus dipikirkan untuk mengatasi maraknya aksi pedofilia tersebut, apakah merevisi sanksi hukum terhadap para pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ancaman hukuman yang diberikan melalui UU tersebut, terhitung ringan minimal tiga tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara, yang tentunya tidak akan memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan terhadap anak-anak itu.
Hakim pun serba salah dalam memutuskan kasus tersebut karena hanya menjalankan ancaman hukum seusai peraturan, kecuali jika ada revisi.
"Saya sendiri sudah mengusulkan segera merevisi UU Perlindungan Anak, karena ancaman hukuman yang ada itu terlalu ringan dan ditambah dengan kebiri para pelaku," kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Komnas PA), Arist Merdeka Sirait.
Usulan tersebut tidak terlepas dari kegelisahannya melihat semakin banyak anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual dan pelakunya sendiri hanya menjalankan hukuman ringan dan selepas itu akan melakukan tindakan serupa kembali.
Artinya sama sekali tidak memberikan efek jera, hingga diperlukan perubahan yang fundamental untuk menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku seperti menjatuhkan hukuman kebiri karena hal itu berkaitan dengan masa depan seorang anak yang menjadi korban.
"Sejumlah negara di dunia sendiri sudah menjalankan hukuman kebiri pada pelaku pedofil," katanya.
Dari data yang ada sejumlah negara yang sudah menjalankan hukuman kebiri itu, seperti, Korea Selatan, Polandia, Turki, dan Tiongkok.
Arist menyebutkan nantinya selain mereka menjalani hukuman maksimal, para pelaku juga akan dikebiri. "Itu diharapkan akan memberikan efek jera," tandasnya.
Hal tersebut, tidak terlepas dari penegakan hukum di tanah air atas pelaku pedofilia itu tergolong masih lemah karena hakim masih memutuskan hukuman atau vonis di bawah 15 tahun. "Putusan itu tidak mencerminkan keadilan bagi seorang korban, padahal korban akan mengalami penderitaan seumur hidupnya," tambahnya.
Tentunya publik sudah mengetahui bagaimana seorang pedofilia asal Australia, William Stuart Brown alias Tony, hanya divonis 13 tahun penjara atas perilakunya memperkosa dua anak di bawah umur.
Ia menjelaskan pengebirian terhadap pelaku itu bisa dilakukan melalui kebiri belah (kelenjar) atau disuntik kimia.
Ubah UU
Sementara itu, mantan hakim yang juga dosen Hukum Pidana Universitas Trisaksi, Asep Iwan, menyatakan, vonis ringan yang dijatuhkan hakim itu tidak bisa disalahkan karena mereka hanya menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang ada.
"Hakim itu dalam menjatuhkan hukuman sesuai dengan aturan yang ada," katanya.
Kecuali, kata dia, direvisi UU untuk menjatuhkan hukuman kepada para pelaku pedofilia, misalnya pelaku dikenakan ancaman berlapis disamping KUHP dikenakan juga UU Perlindungan Anak.
"Karena itu, hukumannya kalau mau diubah, maka hakim akan menjalankannya. Tentunya tidak bisa hakim menjatuhkan hukuman di luar ketentuan, maka hakim itu bisa dianggap menyalahi," katanya.
Saat ditanya apakah layak adanya kebiri terhadap para pelaku, ia menegaskan hakim akan menjalankan aturan yang ada termasuk jika sudah direvisi.
Sementara itu, Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Sutarman mengatakan sepakat bila pelaku kejahatan kekerasan dan pelecehan terhadap anak harus mendapatkan hukuman maksimal dalam proses hukum di pengadilan.
"Dari aspek penegak hukum Polri sudah melakukan langkah-langkah tetapi masih ada penjatuhan hukuman minimal. Oleh karenanya perangkat itu direvisi, undang-undang kejahatan hukumannya maksimal, tapi hakim yang menentukan, Kita berharap maksimal agar ada efek jera," katanya.
Ia mengatakan saat ini ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan dan pelecehan terhadap anak sesuai Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maksimal 15 tahun.
"Ancaman hukuman pasal 82 UU 23/ 2002 itu maksimal 15 tahun, kalau bisa seumur hidup atau kalau bisa hukuman mati. Saya mengharapkan hakim memutus seberatnya," katanya.