Jakarta (ANTARA) - Sebanyak 19 warga dari berbagai kelompok melayangkan gugatan kepada pemerintah terkait karena sejumlah permasalahan pinjaman "online" (pinjol) belakangan ini.
"Belasan warga tersebut berasal dari berbagai kelompok, seperti korban pinjol, tokoh agama, pendiri komunitas gender dan teknologi, tokoh buruh, kelompok disabilitas dan mahasiswa," kata pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Jeany Sirait, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat.
Ia mengatakan kliennya menuntut agar pemerintah membuat regulasi dan sanksi tegas sehingga kehadiran pinjol tidak merugikan masyarakat.
"Masalah pinjaman 'online' ini sudah sekian lama membuat korban berjatuhan. Yang sebenarnya mendasari gugatan ini adalah regulasi yang komprehensif bukan regulasi yang bersifat reaktif," kata Jeany.
Menurut Jeany, permasalahan pinjol telah berlangsung sekian lama dan telah merugikan masyarakat. Bahkan, banyak korban terjerat utang bunga pinjaman hingga mereka melakukan bunuh diri.
Jeany menjelaskan para penggugat menyoroti 11 hal yang belum diatur secara komprehensif, salah satunya kepastian izin pendaftaran sebagai syarat aplikasi "peer-to-peer lending" atau pinjaman daring dapat beroperasi di Indonesia.
Selain itu, publik juga meragukan sistem pengawasan perlindungan data pribadi yang terintegrasi dan mumpuni terhadap seluruh pengguna aplikasi pinjaman "online".
Ia mengakui bahwa saat ini polisi sudah membuka layanan "call center" untuk korban pinjol.
Namun demikian, solusi tersebut hanya bersifat reaktif setelah adanya korban terjerat masalah pinjol.
"Yang dibutuhkan sebenarnya upaya upaya pencegahan lewat regulasi yang selama ini tidak hadir. Regulasi yang menjawab kebutuhan dan komprehensif tidak pernah hadir," kata dia.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga diminta tidak hanya sekadar menutup aplikasi karena dinilai tidak akan efektif menyelesaikan kejahatan pinjol tersebut.