Mentok, Babel (ANTARA) - Sebagai salah satu kabupaten di daerah kepulauan, Bangka Barat memiliki pesona wisata yang tidak kalah menawan dibandingkan dengan kabupaten lain di Pulau Bangka maupun Belitung.
Banyak pantai indah memesona yang ada di ujung barat Pulau Bangka yang sebenarnya layak dikunjungi, bahkan tidak kalah indah dibandingkan pantai di daerah lain, seperti Pantai Jerangkat, Pala, Teluklimau, Pasirkuning, Baturakit, Tanjungkalian, dan bentangan pantai mulai dari Pantai Asmara hingga Tanjungular.
Namun pada kenyataannya, pesona pantai yang ada di Bangka Barat kurang banyak dikunjungi wisatawan dari luar daerah. Masalahnya bukan karena kalah menarik, melainkan lebih pada faktor jarak yang harus ditempuh para wisatawan menuju objek-objek pantai tersebut.
Jika wisatawan datang ke Pulau Bangka menggunakan pesawat terbang, mereka akan mendarat di Kota Pangkalpinang. Adapun jarak tempuh dari Pangkalpinang ke Mentok, Ibu Kota Kabupaten Bangka Barat, membutuhkan waktu sekitar 3 jam.
Hal ini tentunya menjadi pertimbangan tersendiri bagi para wisatawan, mereka akan lebih memilih objek-objek wisata pantai yang dekat dengan bandara untuk menghemat waktu.
Dari faktor ini, maka wisatawan yang datang ke Bangka Barat sebagian besar adalah wisatawan lokal dan daerah-daerah yang berada di sekitar yang kurang begitu mempermasalahkan waktu perjalanan.
Menyadari kekurangan tersebut, pemerintah daerah setempat tetap berupaya agar sektor pariwisata bisa berkembang, yaitu dengan memaksimalkan berbagai potensi yang dimiliki, seperti destinasi wisata sejarah, budaya, kuliner, desa wisata dengan membidik para pelaku perjalanan antarpulau yang menggunakan transportasi darat.
Bangka Barat memiliki keuntungan karena menjadi pintu gerbang utama penyeberangan Selat Bangka yang menghubungkan antara Pulau Bangka dengan Pulau Sumatera.
Dari Pelabuhan Tanjungkalian ke Pelabuhan Tanjungapi-api Banyuasin hanya membutuhkan waktu perjalanan kapal feri sekitar 3 jam dan berdasarkan kalkulasi biaya perjalanan menuju Pulau Jawa, jalur ini jauh lebih murah dan cepat dibandingkan menyeberang dari Pangkalpinang langsung ke Jakarta.
Perjalanan darat dari Bangka Barat ke Jakarta "hanya" memakan waktu sekitar 14 jam, sedangkan untuk rute dari Pelabuhan Pangkalbalam, Kota Pangkalpinang menuju Jakarta menggunakan kapal butuh waktu sekitar 30 jam.
"Ini merupakan keuntungan kita karena semakin banyak pelaku perjalanan yang datang ke Bangka Barat dan itu yang akan kita manfaatkan," kata Bupati Bangka Barat Sukirman.
Namun, keuntungan jarak tersebut bukan tanpa masalah karena para pelaku perjalanan pastinya juga memiliki waktu terbatas saat menanti jadwal penyeberangan untuk mampir berwisata di tempat transit tersebut.
Permasalahan ini akan coba diatasi agar potensi banyaknya jumlah pelaku perjalanan antarpulau ini bisa memberi keuntungan bagi daerah dan masyarakat setempat, terutama dalam mendongkrak sektor pariwisata.
Pelabuhan sebagai etalase
Sebagai langkah awal, Pemkab Bangka Barat bekerja sama dengan PT ASDP Pelabuhan Tanjungkalian berupaya meningkatkan kenyamanan para pelaku perjalanan, baik yang datang maupun akan berangkat dari pelabuhan tersebut.
Keberadaan pelabuhan penyeberangan ini merupakan salah satu potensi yang akan terus dikembangkan karena ke depan diyakini akan semakin banyak warga yang memanfaatkan jalur penyeberangan ini.
Jalur ini terbukti mampu memangkas waktu perjalanan para pengendara kendaraan bermotor dari Pulau Bangka menuju Jakarta.
"Sudah terbukti lebih cepat dan murah lewat jalur ini dibandingkan ke Jakarta melalui Pelabuhan Pangkalbalam," kata Bupati Sukirman.
Untuk memberikan kesan mendalam bagi para pelaku perjalanan, pemerintah setempat berupaya memberikan pelayanan terbaik kepada siapa saja yang berkunjung ke daerah ini.
Para pelaku perjalanan diupayakan agar tidak hanya sekadar numpang lewat di Mentok, namun perlu dan butuh singgah untuk menikmati berbagai destinasi wisata yang ada Mentok.
Mentok yang telah lama ditetapkan sebagai salah satu Kota Pusaka di Indonesia memiliki beragam potensi wisata menarik dan unik yang tidak ditemukan di tempat lain di Babel.
Kota Mentok memiliki latar belakang kota yang kaya akan wisata sejarah, keindahan Bukit Menumbing, pesona alam pantai, dan wisata keberagaman yang tergambar jelas dari pola klaster Eropa, China, dan Melayu.
Keberagaman, kebersamaan dan keramahtamahan warga Bangka Barat memberikan suasana yang nyaman, aman, dan asyik sehingga siapa pun yang datang untuk menyeberang atau sebaliknya, tidak bosan selama di perjalanan.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan fasilitas pendukung dan memotivasi masyarakat, terutama yang bergerak dalam sektor pariwisata untuk meningkatkan pelayanan yang dibutuhkan para pelancong.
Kawasan pelabuhan akan dijadikan sebagai etalase agar para pelaku perjalanan tertarik dan berlama-lama singgah di Bangka Barat atau minimal bisa membuang kejenuhan selama perjalanan dengan menikmati berbagai sajian kuliner, budaya, pemandangan alam dan lainnya di lokasi itu.
Berbenah bersama
Wakil Bupati Bangka Barat Bong Ming Ming menyebutkan ASDP Pelabuhan Tanjungkalian saat ini sudah memberikan respons positif dan terus berupaya meningkatkan pelayanan dan fasilitas untuk memberikan kualitas pelayanan terbaik kepada para pelaku perjalanan dan pengguna jasa penyeberangan.
Kini para penumpang dapat menikmati fasilitas ruang tunggu pelabuhan yang telah dilengkapi dengan pusat jajanan dan produk UMKM. Pedagang kecil juga dapat berjualan dan menempati ruang-ruang yang telah disediakan.
"Saat ini ASDP terus berbenah, pelayanan, ruang tunggu, semua sudah berubah. Kita bersama-sama memikirkan dan mencoba memberikan sentuhan kearifan lokal agar semakin menarik dan nyaman," kata Bong MIng Ming.
Selain peningkatan di dalam kawasan Pelabuhan Tanjungkalian, pemerintah juga membantu menyiapkan terminal penyangga yang berada persis di sebelah kawasan pelabuhan. Terminal ini penting dan dapat digunakan sewaktu-waktu sebagai tempat menampung kendaraan jika terminal tunggu di dalam kawasan Pelabuhan Tanjungkalian penuh.
Terminal penyangga cukup luas lengkap dengan berbagai fasilitas pendukung, seperti toilet, musala, tempat istirahat, dan pusat jajan ini untuk mengurangi kepadatan di dalam kawasan pelabuhan, termasuk mengurangi terjadinya antrean di jalan raya yang bisa mengganggu arus lalu lintas.
Penyediaan terminal penyangga di lokasi itu diharapkan akan menjadi pusat ekonomi baru bagi warga setempat.
Terminal penyangga berada persis di sebelah kawasan Pelabuhan Tanjungkalian Mentok dan berbatasan langsung dengan salah satu objek wisata yang dikelola Pemkab setempat, yaitu Pantai Baturakit.
Pantai Baturakit merupakan destinasi wisata andalan yang selama ini menjadi salah satu tempat kunjungan favorit bagi siapa saja yang datang ke Mentok.
Di pantai itu, selain bisa menikmati pesona pantai indah berombak tenang, pengunjung juga bisa menikmati wahana bermain bagi anak-anak, lengkap dengan sajian kuliner khas yang dijual sejumlah pedagang di lokasi tersebut.
Pemkab akan terus melengkapi berbagai fasilitas pendukung yang dibutuhkan para wisatawan, baik di objek wisata maupun di terminal penyangga agar mereka merasa nyaman, aman dan betah berlama-lama saat menunggu jadwal pemberangkatan kapal.
Selain itu, pihaknya juga berupaya agar ikut mengelola kawasan yang berada di sekitar Menara Suar Tanjungkalian yang saat ini dikelola Dirjen Perhubungan.
Menara suar setinggi 56 meter itu merupakan salah satu bangunan tua yang ada di Kota Mentok, dibangun kolonial Belanda pada tahun 1862.
Bangunan Menara Suar Tanjungkalian salah satu dari sekitar 50 bangunan tua atau bersejarah di Kota Mentok yang pada tahun 2009 sudah ditetapkan sebagai salah satu kota pusaka di Indonesia.
Dari sekitar 50 bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, baik skala nasional maupun daerah sebagai jaminan dari pemerintah dalam pelestarian.
Banyaknya jumlah bangunan tua dan bersejarah di Kota Mentok tidak terlepas dari sejarah perkembangan tata pemerintahan dan peran penting Mentok selama perjuangan Kemerdekaan RI.
Pemerhati sejarah dan budaya Bangka Muhammad Ferhad Irvan dalam buku kapita selekta penulisan sejarah lokal yang diterbitkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat menjelaskan Kota Mentok memiliki tata ruang yang unik. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda tata ruang itu dipisahkan berdasarkan tiga kelompok bangsa. Segregasi ini berdasar kepentingan Kolonial Belanda, yang mana etnis China diletakkan sebagai penyangga antara kepentingan kaum pribumi dengan Belanda.
Posisi Kampung China berada pada kedudukan strategis, yaitu pada posisi silang antara kantung permukiman Melayu dan Eropa, dengan pelabuhan. Meskipun sempit, posisi Kampung China menjadi lokasi tepat sebagai daerah perdagangan.
Permukiman Melayu diletakkan di daerah pinggiran yang menunjukkan bahwa peranan orang-orang Melayu di Mentok bukanlah sebagai komponen utama yang menopang kepentingan ekonomi Pemerintah Kolonial Belanda.
Pemisahan permukiman Melayu ini juga dibagi tiga kantung utama (Tanjung, Kampung Ulu, dan Teluk Rubiah) sesuai keinginan Kolonial Belanda untuk mengontrol kepadatan populasi dan mencegah bersatunya kaum pribumi yang berpotensi terjadi pemberontakan.
Dengan tata kelola ruang di Kota Mentok tersebut pada perkembangannya banyak ditemukan bangunan tua dan bernilai sejarah sesuai dengan pengelompokan atau kluster dari tiga kelompok besar warga yang tinggal di dalamnya.
Untuk kluster Melayu berdiri bangunan rumah Tumenggung, beberapa rumah panggung, Masjid Jamik, makam bangsawan Kute Seribu dan lainnya, sedangkan di kluster China ada Rumah Mayor, pergudangan, kompleks pasar, Kelenteng Kung Fuk Miau, dan beberapa rumah penduduk bergaya arsitektur khas China.
Untuk kluster Eropa, beberapa bangunan khas arsitektur eropa juga banyak ditemukan di Kota Mentok, seperti pelabuhan lama, kompleks pergudangan di pelabuhan, rumah residen, museum timah, penjara, gereja,tangsi, bangunan bekas kantor perusahaan Belanda, rumah para pejabat, pesanggrahan, dan lainnya.
Meskipun saat ini bangunan-bangunan tua tersebut menyatu dengan banyak bangunan baru milik warga, masih tetap bisa dijumpai dan suasana masa lalu masih tetap terasa saat berada di Kota Mentok yang pada zaman dahulu menjadi pusat pemerintahan Pulau Bangka sebelum dipindahkan ke Pangkalpinang pada tahun 1913.
Meskipun Mentok telah berubah dan hanya menjadi ibu kota pertambangan sejak 1913, peranan Mentok sebagai kota pelabuhan dan persinggahan utama di Pulau Bangka masih tetap dipertahankan hingga tahun 1950.
Dengan kekayaan bangunan tua bersejarah berpadu dengan tata ruang Kota Mentok yang asri menjadi daya tarik bagi setiap wisatawan, maupun para pelaku perjalanan yang kebetulan singgah di ujung barat Pulau Bangka.
Selain memiliki potensi itu, Mentok juga terkenal dengan kota seribu kue, ada kain tenun legendaris cual mentok, peleburan timah, jenama "muntok white pepper", tempat pengasingan para pejuang Kemerdekaan RI pada tahun 1948-1949, dan beragam budaya yang berkembang menjadi modal daerah untuk menarik wisatawan.
Penetapan Mentok sebagai salah satu Kota Pusaka Indonesia sejak tahun 2009 membutuhkan banyak promosi agar bisa memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Kawasan Pelabuhan Tanjungkalian sebagai pintu gerbang utama yang setiap hari banyak disinggahi pelaku perjalanan antarpulau perlu terus dipercantik, perlu dibuatkan etalase yang lebih serius dan menarik agar setiap pelaku perjalanan bisa mengetahui seluruh potensi wisata.
Dengan demikian, para pelaku perjalanan tidak hanya singgah, tetapi bisa mengisi waktu luang menunggu jadwal pemberangkatan feri dengan menikmati keindahan "Mentok kute lame".