Pangkalpinang (ANTARA) - Disadari atau tidak, banyak guru yang merasa tergoda untuk membanding-bandingkan prestasi belajar siswa dengan yang lainnya. Banyak pula guru yang lebih “mendewakan” prestasi akademik atau jejeran nilai-nilai di rapor.
Guru tersebut belum memahami bahwa prestasi belajar harus dilihat secara utuh dalam konteks perkembangan sosial, emosional, fisik, dan psikologis. Seharusnya guru memiliki keyakinan bahwa masing-masing individu memiliki karakteristik dan kemampuan yang berbeda. Ada siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, atau rendah.
Dalam tinjauan psikologis setiap siswa memiliki perbedaan dengan lainnya. Menurut Nurdin, dalam bukunya berjudul "Model Pembelajaran yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi" terbitan Tahun 2005, bahwa tidak ada dua orang di dunia ini yang benar-benar sama dalam segala hal sekalipun mereka kembar.
Setiap tahun ajaran baru, guru selalu menghadapi siswa yang berbeda satu sama lain. Mungkin, mulanya guru belum dapat melihat perbedaan secara jelas. Lama-kelamaan akan tampak perbedaan dari fisik, tingkah laku, cara berbicara, hingga akhirnya muncul perbedaan kemampuan dan psikis.
Model pembelajaran yang telah digunakan di sekolah tampaknya belum mampu mengapresiasi dan mengakomodasi perbedaan-perbedaan individual siswa. Dalam proses belajar mengajar, masih banyak guru yang memberikan layanan pembelajaran yang sama untuk semua siswa baik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, atau rendah.
Penerapan metode dan model pembelajaran yang sama kepada siswa dengan kemampuan berbeda dirasa belum mengoptimalkan proses pembelajaran. Siswa yang lambat tetap saja tertinggal dari kelompok sedang.
Sementara kelompok yang cepat belum mendapatkan layanan yang maksimal dalam pembelajaran. Pembelajaran di kelas cenderung belum dapat mendorong siswa maju dan berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Selain perbedaan kemampuan, para siswa juga memiliki gaya belajar yang berbeda. Ada siswa yang memiliki gaya belajar visual, auditori, lingustik (verba), kinestetik, logical (matematical), sosial (interpersonal), dan intrapersonal.
Penggunaan metode pembelajaran yang seragam kepada siswa dengan gaya belajar yang beragam tentu saja tidak memaksimalkan penyerapan ilmu.
Salah satu prinsip atau asas mengajar menurut Nurdin (2005) adalah menekankan pentingnya “individualitas”, yaitu menyesuaikan pembelajaran dengan perbedaan individual siswa. Guru harus mengenal siswanya secara lebih individual untuk menerapkan strategi belajar yang cocok bagi proses perkembangan belajar mereka.
Dengan demikian, diperlukan pemahaman secara menyeluruh mengenai pembelajaran berdiferensiasi guna memaksimalkan potensi belajar siswa.
Pembelajaran Berdiferensiasi
Pembelajaran berdiferensiasi adalah suatu pendekatan yang mengakui bahwa setiap siswa memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda.
Siswa diberikan pilihan-pilihan yang variatif dalam hal materi pembelajaran, metode pengajaran dan penilaian. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa setiap siswa dapat mencapai potensi maksimal mereka.
Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru menggunakan berbagai metode pengajaran untuk memenuhi kebutuhan individual setiap siswa. Kebutuhan tersebut dapat berupa pengetahuan, gaya belajar, minat, dan pemahaman terhadap mata pelajaran.
Melalui pembelajaran berdiferensiasi, para siswa diberi keleluasaan untuk meningkatkan potensi diri sesuai dengan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar siswa tersebut. Pembelajaran berdiferensiasi tidak hanya berfokus pada produk pembelajaran, tetapi juga pada proses dan konten atau materi.
Jika fokus pada konten, siswa diberikan kebebasan menentukan bahan dan alat pembelajaran sesuai kebutuhan. Diferensiasi proses berkaitan dengan cara siswa memahami hal yang dipelajari.
Selanjutnya adalah diferensiasi produk atau hasil pembelajaran yang harus ditunjukkan siswa pada guru meliputi adanya tantangan dan keragaman, serta memberikan siswa pilihan untuk mengekspresikan pembelajaran yang diinginkan.
Mengenal Karakteristik Siswa
Tiap siswa dibentuk juga oleh lingkungan dan pengalaman-pengalaman. Besarnya pengaruh lingkungan dan pengalaman terhadap karakter siswa tergantung cara mereka merefleksikannya. Mengenal siswa berarti mengenal respons dan tingkah lakunya dalam beragam situasi. Mengenal karakter siswa adalah proses yang berkesinambungan dan tidak ada habisnya.
Mengenal tidak sekadar mengetahui kumpulan data-data, tetapi meliputi banyak aspek yang kompleks seperti mengenal variasi dalam kecepatan perkembangan jasmani dan rohani, mengenal persepsi penerimaan dunia sekitar, mengenal tingkah laku yang hanya dimiliki karena harapan dan kebudayaan.
Kemudian mengenal tingkah laku sebagai gejala saja, mengenal bahwa tingkah laku yang dipelajari juga dapat diubah dalam proses belajar, mengenal sikap siswa dalam menghadapi kegagalan l, dan mengenal kecerdasan yang masih belum tergali.
Dalam menjalankan tugas utama sebagai pendidik, guru menghadapi anak manusia yang bersifat “unik”. Unik berarti setiap manusia tidak sama dan mengalami tahapan perkembangan yang khusus sebagai stimulus pembentukan karakter. Mengetahui perbedaan tersebut membantu guru dalam menghadapi dan melayani siswa dengan tepat.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk mengetahui gambaran karakteristik siswa adalah dengan melakukan psikotes pada awal penerimaan. Mempelajari berbagai aspek psikologis siswa sangat membantu keberhasilan proses pengajaran.
Memahami berbagai faktor pada kondisi awal siswa dapat membantu penyelenggara pendidikan mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Guru yang telah memiliki potret siswa sebelum proses pembelajaran dapat menyusun rencana pembelajaran, pemilihan alat dan sumber belajar, pemilihan materi, interaksi belajar mengajar, pemberian motivasi, layanan bimbingan penyuluhan, dan berbagai faktor lain yang lebih mangkus (mustajab).
Tugas tersebut memang tidak sesederhana tulisan ini. Semua itu memerlukan ketelatenan baik dalam cara mengajar maupun pengambilan keputusan. Tentu saja akan banyak hambatan yang dialami di lapangan.
Kesulitan-demi kesulitan dalam memahami setiap individu siswa tidak boleh membuat guru menyerah. Semakin baik guru mengenal siswa, semakin tepat strategi yang digunakan, semakin sempurna pula pencapaian tujuan pendidikan.
Tantangan Pembelajaran Berdiferensiasi
Siapapun tak memungkiri bahwa pembelajaran berdiferensiasi merupakan konsep yang ideal. Namun, hal itu menjadi tantangan bagi guru untuk lebih kreatif. Selain mengetahui karakteristik individu siswa sebagai dasar merancang pembelajaran, guru perlu menyusun asesmen diagnostik dan formatif pada awal pembelajaran.
Selain itu, guru perlu menyiapkan multimetode, multimedia, dan multisumber agar pembelajaran bervariasi untuk mengakomodasi berbagai gaya belajar siswa. Untuk menyusun semua itu, guru membutuhkan waktu yang lebih banyak dan itu menjadi tantangan bagi para guru karena setiap sekolah sudah mengalokasikan waktu bagi setiap guru dan mata pelajaarannya masing-masing.
Pengimplementasian pembelajaran berdiferensiasi juga membutuhkan biaya yang tinggi. Sekolah harus mempunyai akses ke berbagai sumber daya dan bahan ajar untuk mendukung pembelajaran setiap siswa. Begitu juga dengan pengadaan media pembelajaran yang variatif sesuai kebutuhan siswa. Hal itu jelas membutuhkan dukungan keuangan sercara berkelanjutan yang mungkin sulit dipenuhi semua oleh banyak sekolah.
Guru yang menerapkan pembelajaran berdiferensiasi membutuhkan keterampilan manajemen kelas yang efektif. Guru mesti menyeimbangkan antara memberikan perhatian individu kepada siswa dan mengondusifkan kelas secara umum.
Kurikulum yang terbatas juga menjadi salah satu tantangan yang sulit terjawab dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Kurikulum tetap dapat mengikat guru dalam batasan materi dan metode pengajaran tertentu.
Pembelajaran yang variatif berdasarkan perbedaan kebutuhan siswa sering kali membutuhkan fleksibilitas dalam kurikulum. Tantangan selajutnya adalah penilaian. Semakin berbeda model dan metode pembelajaran, semakin sulit memastikan bahwa penilaian memenuhi unsur adil dan objektif. Hal itu dikarenakan dalam melakukan penilaian guru menjadikan perbedaan individu sebagai pertimbangan.
Meski demikian, pembelajaran berdiferensiasi saat ini menjadi pilihan terbaik bagi berbagai sekolah di Indonesia untuk mengoptimalkan peserta didik. Pembelajaran berdiferensiasi ini sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia yaitu sistem "among".
"Among" artinya guru harus dapat menuntun siswanya berkembang sesuai dengan kodratnya. Kini, pilihan ada di tangan para guru. Apakah akan tetap jalan di tempat dan enggan meninggalkan zona nyaman? Atau melangkah dengan tegap menjawab tantangan pendidikan demi mencapai tujuan mulia.
*) Vega Galanteri adalah praktisi pengajar atau Guru MAN Insan Cendekia Bangka Tengah, Bangka Belitung