Jakarta (ANTARA) -
Yang kala itu menjadi sorotan adalah Budiman Sudjatmiko. Ia dikenal sebagai salah satu aktivis yang menjadi korban penculikan pada 1998. Budiman menjadi sorotan lantaran ia mengangkat tangan di tengah sorak-sorai penonton, berikut dengan senyuman bangga yang merekah pada wajah.
Budiman Sudjatmiko bukanlah satu-satunya aktivis yang merapat ke barisan Prabowo. Ada pula Mugiyanto, korban penculikan 1998 yang kini menjadi bagian dari Kabinet Merah Putih—nama kabinet pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka—sebagai Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM).
Penunjukan Mugiyanto menjadi Wakil Menteri HAM secara resmi diumumkan oleh Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (20/10) malam.
Kementerian HAM merupakan kementerian baru yang tercipta pada kabinet Prabowo dan Gibran. Sebelumnya, bidang HAM berada dalam satu kementerian dengan hukum, yakni di Kementerian Hukum dan HAM.
Sebagai seorang aktivis, Mugi, sapaan akrab Mugiyanto, memiliki rekam jejak yang begitu lekat dengan perkembangan HAM di Indonesia.
Jejak Mugi dan HAM
Berangkat dari Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Mugi dikenal sebagai aktivis reformasi 1998 yang mengalami penculikan dan penyiksaan. Ia merupakan lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang aktif memperjuangkan hak asasi manusia.
Mugi sempat aktif di Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), di mana ia menjabat sebagai Ketua IKOHI selama periode 2000–2014. IKOHI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada bantuan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.
Lebih lanjut, menginjak tahun 2015–2020, ia pun bergabung dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) sebagai Senior Program Officer HAM dan Demokrasi. INFID merupakan sebuah organisasi non-pemerintah yang fokus pada advokasi kebijakan nasional dan internasional terkait pembangunan serta demokratisasi di Indonesia.
Tak terbatas pada keterlibatannya dalam memperjuangkan HAM di dalam negeri, Mugiyanto juga terlibat dalam Federasi Asia Melawan Penghilangan Paksa (AFAD) yang berpusat di Manila, Filipina pada 2006–2014. AFAD merupakan federasi organisasi hak asasi manusia yang berfokus pada isu penghilangan paksa di Asia.
Ketika menjabat sebagai Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) pun, Mugi secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemerintah yang terkait dengan HAM. Salah satunya adalah saat ia berkunjung ke Banda Aceh pada pengujung tahun 2023.
Dalam kunjungan tersebut, Mugi memastikan korban pelanggaran hak asasi manusia berat di Aceh akan mendapatkan hak reparasi dari negara. Hal itu disampaikan Mugi setelah menerima buku berjudul Peulara Damee (Merawat Perdamaian) berisi laporan temuan pelanggaran HAM di Aceh yang diserahkan langsung oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
Selain kunjungan ke Aceh dan menerima laporan dari KKR Aceh, Mugi melalui KSP bersama INFID, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Pemerintah Kota Bitung terus berkolaborasi dalam menggelar Festival HAM 2024 pada Juli 2024 bertema “Memajukan Demokrasi, Pemenuhan HAM, dan Penguatan Partisipasi Masyarakat dari Daerah hingga Nasional”.
Mugi berharap penyelenggaraan Festival HAM 2024 tersebut dapat menjadi gelaran yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga masyarakat melihat bahwa Festival HAM merupakan sebuah inisiatif positif.
Tantangan memperkokoh HAM
Ketekunan Mugi terhadap bidang pemajuan HAM mengantar sang aktivis menempati kursi barunya, yakni Wakil Menteri HAM Republik Indonesia. Tentunya, jabatan tak datang dengan cuma-cuma. Jabatan ini disertai dengan tanggung jawab bagi Mugi untuk turut menyukseskan visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045.
Guna menyukseskan visi tersebut, Prabowo dan Gibran telah merumuskan delapan misi yang disebut Astacita. Sesuai dengan namanya, Astacita terdiri atas delapan pokok haluan yang akan dijalankan oleh Prabowo dan Gibran bersama kabinetnya selama periode kepemimpinannya.
Misi-misi tersebut meliputi memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia; serta memperkuat kesetaraan gender, penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas. Kedua misi itu sangat lekat dengan tanggung jawab Mugi sebagai Wakil Menteri HAM.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan bahwa sedikitnya terdapat empat RUU yang harus diperjuangkan, yakni RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Masyarakat Adat, revisi UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan ratifikasi protokol opsional konvensi menentang penyiksaan (OPCAT).
Penuntasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga merupakan salah satu RUU yang dinanti-nanti oleh para pejuang HAM.
Kendala utama yang dihadapi oleh RUU KKR adalah belum adanya urgensi dan dukungan politik bagi keberadaan UU KKR dan pembentukan KKR.
Padahal, RUU KKR dapat memberi landasan hukum dan kebijakan yang lebih substantif bagi upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Atnike juga meyakini UU KKR dapat memperkuat kelembagaan dan dukungan sumber daya bagi upaya-upaya pemenuhan hak-hak korban.
Meski tidak secara gamblang termaktub dalam Astacita, Mugi tetap harus menemukan solusi untuk mengatasi sulitnya mengadili para pelaku kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di 12 peristiwa yang diakui oleh Presiden Joko Widodo, yaitu Peristiwa 1965–1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982–1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997–1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Kemudian, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998–1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998–1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001–2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu tidak bisa dipisahkan dari mekanisme yudisial. Hal ini bertujuan untuk memberi kepastian hukum dan keadilan bagi para korban.
Kini, tugas tersebut diletakkan di pundak Mugi bersama Natalius Pigai selaku Menteri HAM dan Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
Akan tetapi, berbeda dengan Natalius maupun Yusril, beban tersebut juga merupakan bagian dari tanggung jawab moral Mugi untuk memperjuangkan hak dan keadilan yang direnggut dari rekan-rekan aktivisnya, berikut dengan keluarga mereka. Bukan hanya kepada korban peristiwa 1998, melainkan termasuk peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya.
Selamat bertugas, Mugiyanto. Selamat memperjuangkan hak para korban dan keluarga korban peristiwa pelanggaran HAM berat.