Pangkalpinang (ANTARA) - Pelayanan publik merupakan jantung dari keberadaan pemerintah daerah. Keberhasilan pemerintah dalam menjangkau dan menyelesaikan persoalan masyarakat terletak pada bagaimana birokrasi mampu bekerja secara efisien, efektif, dan responsif. Namun, di Bangka Belitung, pelayanan publik kerap kali hanya sebatas prosedur administratif yang menjauh dari semangat “melayani.” Banyak warga yang datang ke kantor-kantor pelayanan pemerintah, namun pulang dengan kecewa karena solusi yang diharapkan tidak pernah sampai.
Fenomena ini bukan sekadar cerita satu-dua orang, melainkan cermin dari problem sistemik yang telah berlangsung lama. Di berbagai sudut Pulau Bangka maupun Belitung, masyarakat mengeluhkan lambannya respons aparatur terhadap laporan, tidak jelasnya alur birokrasi, hingga minimnya akses terhadap informasi dan teknologi pelayanan publik. Meskipun semangat reformasi birokrasi digaungkan hampir setiap tahun dalam pidato kepala daerah, implementasinya justru stagnan.
Salah satu contoh nyata adalah dalam layanan administrasi kependudukan. Masih banyak warga di pedesaan yang harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk mengurus dokumen penting seperti KTP atau akta kelahiran, dan tak jarang harus bolak-balik karena sistem online tidak bisa diakses, atau petugas pelayanan yang tidak hadir. Padahal, digitalisasi administrasi menjadi prioritas nasional sejak lama. Di Bangka Belitung, transformasi digital dalam pelayanan publik tampaknya belum menyentuh akar permasalahan: keterbatasan akses, kemampuan teknis petugas, dan rendahnya sosialisasi kepada masyarakat.
Selain itu, keluhan juga datang dari para pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) yang ingin mengurus izin usaha. Banyak yang mengeluhkan rumitnya prosedur, bahkan untuk layanan yang seharusnya sudah berbasis daring. Sistem yang kerap mengalami gangguan, kurangnya pendampingan teknis dari petugas, serta minimnya pelatihan terhadap pelaku UMK di wilayah terpencil, menjadi kendala yang menghambat pertumbuhan ekonomi lokal.
Ironisnya, pelayanan kesehatan pun belum sepenuhnya membaik. Meski fasilitas telah dibangun dan program jaminan kesehatan semakin luas, praktik birokrasi di lapangan masih menyulitkan. Beberapa warga mengaku harus antre panjang tanpa kejelasan kapan akan dilayani, atau mendapat penjelasan yang tidak memadai dari petugas medis maupun nonmedis. Di beberapa puskesmas, keterbatasan tenaga medis dan sarana penunjang memperburuk keadaan. Ini menunjukkan bahwa pelayanan publik bukan hanya soal keberadaan gedung dan alat, tapi juga soal sikap melayani dan kepekaan terhadap kebutuhan warga.
Salah satu penyebab mengendurnya kualitas pelayanan publik adalah budaya birokrasi yang terlalu prosedural. Banyak aparatur yang lebih sibuk mengurus laporan dan berkas-berkas administrasi ketimbang mencari solusi konkret atas masalah masyarakat. Mereka terjebak dalam rutinitas dan aturan teknis yang kaku, sehingga kehilangan empati dan inisiatif untuk bertindak cepat. Akibatnya, pelayanan hanya berlangsung secara mekanis, tanpa jiwa dan tanpa hasil nyata.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya sistem pengawasan dan evaluasi pelayanan publik. Masyarakat sulit menyampaikan keluhan karena mekanisme pengaduan yang tidak efektif atau tidak tersedia. Bahkan ketika laporan sudah masuk, tindak lanjutnya sering kali tidak transparan. Ini menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan memperkuat kesan bahwa “meja pelayanan” hanya simbol belaka, bukan tempat mencari solusi.
Di tengah ketidakpuasan masyarakat, banyak warga merasa bahwa mereka tidak hanya diabaikan secara administratif, tetapi juga secara emosional. Ketika pelayanan publik kehilangan unsur kemanusiaannya, yakni sikap ramah, komunikatif, dan menghargai waktu, maka rasa percaya antara warga dan negara perlahan retak. Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi soal keadilan dan martabat manusia.
Sementara itu, muncul pula persoalan ketimpangan pelayanan antarwilayah. Kota-kota besar seperti Pangkalpinang mungkin menikmati pelayanan yang lebih baik karena dukungan infrastruktur dan SDM yang relatif mencukupi. Namun bagaimana dengan daerah-daerah seperti Belitung Timur atau Bangka Barat? Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa pemerintah belum mampu mendesain pelayanan yang merata dan adil. Padahal, prinsip desentralisasi yang dianut oleh sistem pemerintahan kita menghendaki bahwa semua daerah, termasuk pelosok, harus memiliki kapasitas pelayanan yang setara.
Satu aspek penting yang sering terabaikan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perbaikan pelayanan. Pemerintah daerah sering merancang program tanpa terlebih dahulu berdialog dengan masyarakat. Partisipasi warga hanya dibutuhkan dalam bentuk formal, seperti saat mengisi survei kepuasan pelayanan. Padahal, masyarakat lokal adalah sumber informasi terbaik untuk mengidentifikasi hambatan pelayanan dan solusi berbasis kebutuhan nyata.
Namun demikian, bukan berarti semua upaya telah gagal. Ada beberapa inovasi dari kabupaten dan kota di Bangka Belitung yang patut diapresiasi, seperti pembukaan layanan keliling administrasi kependudukan atau penggunaan aplikasi tertentu untuk pelayanan kesehatan. Hanya saja, inovasi tersebut belum masif dan masih bersifat sporadis. Tantangannya kini adalah bagaimana membangun sistem yang berkelanjutan dan inklusif, bukan sekadar proyek sesaat.
Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan perubahan paradigma di tubuh pemerintahan daerah. Aparatur sipil negara (ASN) perlu direkrut, dilatih, dan dinilai berdasarkan kemampuan mereka dalam memberikan pelayanan, bukan semata kepatuhan terhadap aturan birokrasi. Pemerintah daerah harus mendorong partisipasi masyarakat dalam merancang dan mengevaluasi sistem pelayanan. Selain itu, teknologi digital harus dimanfaatkan secara adil, bukan hanya di pusat kota, tetapi juga di pelosok desa.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga perlu meninjau ulang sistem koordinasi antar-instansi, agar pelayanan publik tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi terintegrasi dan saling memperkuat. Tanpa sinergi yang kuat, maka satu reformasi akan selalu tertahan oleh kelemahan lainnya.
Perlu juga ditegaskan bahwa pelayanan publik harus dimaknai sebagai jalan menuju pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Ini termasuk hak atas identitas hukum, kesehatan, pendidikan, hingga kesejahteraan ekonomi. Dalam konteks inilah, pelayanan publik tidak boleh lagi dianggap sebagai beban administratif, tetapi sebagai cermin kualitas demokrasi lokal.
Pada akhirnya, pelayanan publik bukanlah hadiah dari negara kepada rakyat. Ia adalah kewajiban konstitusional dan hak dasar setiap warga. Maka sudah saatnya pemerintah daerah di Bangka Belitung tidak hanya membangun meja pelayanan, tetapi juga menghadirkan solusi nyata di baliknya. Masyarakat tidak datang ke kantor pemerintah untuk mendapat janji, tetapi untuk memperoleh kepastian, keadilan, dan pengakuan atas hak mereka sebagai warga negara. Bila pelayanan publik tetap dibiarkan menjadi sekadar formalitas, maka yang lahir bukanlah kesejahteraan, melainkan ketidakpercayaan yang terus membesar.
*) Sartika Indah Paraswati adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung