Pangkalpinang (ANTARA) - Hukum perdata selalu menjadi fondasi penting dalam mengatur hubungan antarindividu, khususnya yang berkaitan dengan kepemilikan dan peralihan hak atas benda.
Di antara berbagai bentuk hak kebendaan yang dikenal yaitu hipotek. Hipotek menempati posisi yang unik karena fungsinya yang erat dengan jaminan utang. Sejak diberlakukannya Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lama di Indonesia, konsep hipotek telah mengalami perjalanan panjang yang penuh dinamika.
Sekarang dengan hadirnya rancangan dan pembaharuan BW baru, pengaturan hipotek menunjukkan evolusi yang menarik, tidak hanya dari segi substansi, tetapi juga dalam kerangka memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat.
Secara klasik, hipotek adalah hak kebendaan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan benda tidak bergerak milik debitur. Dengan kata lain, hipotek memungkinkan kreditur memiliki kedudukan istimewa dibanding kreditur lainnya.
Dalam BW lama, pengaturan hipotek terbagi ke dalam berbagai pasal yang tidak hanya menyasar tanah, tetapi juga benda-benda tidak bergerak lain seperti kapal dengan bobot tertentu. Pengaturan ini lahir dari kebutuhan ekonomi pada masa kolonial yang menuntut adanya kepastian dalam transaksi kredit, terutama untuk kepentingan investasi dan perdagangan.
Sebagai hak kebendaan, hipotek memiliki sifat absolut dapat dipertahankan terhadap siapa pun serta memberikan droit de suite (hak mengikuti), yang berarti hak tersebut tetap melekat pada objeknya walaupun telah beralih tangan. Karakter ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan kreditur dalam menagih piutangnya dan kepentingan debitur dalam memperoleh pembiayaan.
Namun, sifat absolut inilah yang juga memunculkan persoalan bagaimana memastikan perlindungan hak pihak ketiga dan bagaimana negara menata agar tidak menimbulkan ketidakpastian dalam praktiknya?
BW lama memang menyediakan kerangka dasar yang kokoh, tetapi perkembangan zaman membuat banyak ketentuannya terasa kaku dan tumpang tindih dengan regulasi lain. Misalnya, pengaturan hipotek atas tanah beririsan dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang memperkenalkan hak tanggungan sebagai bentuk jaminan atas tanah. Akibatnya, terjadi duplikasi pengaturan antara hipotek dalam BW dengan hak tanggungan dalam UUPA. Dalam praktiknya, kreditur dan debitur harus menavigasi dua rezim hukum sekaligus, yang sering menimbulkan kebingungan mengenai kepastian hak.
Selain itu, BW lama masih mengenal konsep hipotek atas benda tertentu seperti kapal laut dengan bobot tertentu, yang kini sebagian besar telah diatur dalam undang-undang khusus, seperti Undang-Undang Pelayaran. Kompleksitas ini membuat banyak pihak menilai bahwa BW lama sudah tidak lagi sejalan dengan kebutuhan ekonomi modern yang menuntut efisiensi dan kepastian hukum yang lebih tinggi.
Pembaharuan BW yang kini tengah dibahas menghadirkan semangat penyederhanaan dan harmonisasi. Dalam rancangan BW baru, pengaturan hipotek difokuskan hanya pada objek tertentu yang relevan dengan kebutuhan saat ini, seperti kapal laut, sementara tanah sepenuhnya diatur melalui mekanisme hak tanggungan. Pendekatan ini menunjukkan kesadaran pembentuk undang-undang bahwa kepastian hukum hanya dapat dicapai jika setiap jenis benda memiliki rezim hukum jaminan yang jelas dan tidak saling tumpang tindih.
Langkah ini patut diapresiasi karena mengurangi potensi konflik norma antara BW, UUPA, dan undang-undang sektoral lainnya. Kreditur, misalnya, kini dapat lebih mudah menentukan jalur hukum yang tepat untuk mengeksekusi jaminan tanpa harus terjebak dalam interpretasi ganda. Di sisi lain, debitur juga memperoleh perlindungan karena mekanisme pendaftaran dan eksekusi menjadi lebih transparan.
Mengapa kepastian hukum begitu penting dalam konteks hipotek?
Jawabannya sederhana, kepercayaan. Dunia usaha dan perbankan hanya akan berkembang jika ada kepastian bahwa hak jaminan dapat dieksekusi ketika terjadi wanprestasi. Tanpa kepastian, kreditur akan ragu memberikan pinjaman, yang pada gilirannya menghambat perputaran modal dan investasi. Pembaharuan BW yang menyelaraskan pengaturan hipotek dengan hukum pertanahan, pelayaran, dan sektor lainnya menciptakan ruang aman bagi para pelaku ekonomi untuk bertransaksi.
Selain itu, penguatan kepastian hukum juga membawa dampak sosial yang positif. Debitur tidak lagi khawatir akan praktik eksekusi sepihak atau ketidakjelasan status jaminan, sementara kreditur memperoleh jaminan bahwa haknya dilindungi secara efektif.
Dengan demikian, pembaharuan ini tidak hanya menguntungkan pelaku usaha besar, tetapi juga masyarakat luas yang bergantung pada akses pembiayaan, seperti pelaku UMKM dan sektor perumahan.
Meski pembaharuan BW baru patut diapresiasi, tantangan implementasi tidak dapat diabaikan. Penyederhanaan norma harus diikuti dengan kesiapan aparatur penegak hukum, notaris, dan lembaga keuangan untuk menyesuaikan praktiknya. Sosialisasi kepada masyarakat dan pelaku usaha juga penting agar perubahan ini tidak menimbulkan kebingungan baru.
Selain itu, pembaharuan BW perlu terus dievaluasi agar tetap relevan dengan perkembangan teknologi, seperti munculnya aset digital dan transaksi lintas batas yang mungkin memerlukan bentuk jaminan baru.
Evolusi pengaturan hipotek dari BW lama menuju BW baru menunjukkan perjalanan hukum yang berupaya menyeimbangkan antara hak kebendaan dan kepastian hukum.
Di satu sisi, hak kebendaan seperti hipotek harus tetap memberikan jaminan kuat kepada kreditur. Di sisi lain, negara berkewajiban memastikan bahwa kekuatan tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian atau ketidakadilan bagi debitur dan pihak ketiga.
Dengan langkah penyederhanaan dan harmonisasi dalam BW baru, Indonesia tengah menapaki jalur yang lebih jelas menuju kepastian hukum yang mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus melindungi kepentingan semua pihak. Evolusi ini bukan sekadar perubahan norma, tetapi juga refleksi dari kebutuhan zaman, hukum harus hadir sebagai instrumen keadilan yang adaptif dan memberikan kepastian bagi setiap langkah masyarakat dalam bertransaksi.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
