Jakarta (ANTARA) - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menegaskan jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung sejak awal tidak mendakwa dengan pasal hukuman mati kepada terdakwa dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asabri dan pencucian uang Benny Tjokrosaputro.
"Bahwa sejak semula penuntut umum tidak pernah mendakwa terdakwa pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga majelis hakim tidak dapat membuktikan unsur pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Akan tetapi, majelis hanya membuktikan pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
JPU Kejaksaan Agung menuntut Benny Tjokrosaputro dengan hukuman mati dan kewajiban pembayaran uang pengganti senilai Rp5,733 triliun. Namun, majelis hakim yang terdiri atas Ignatius Eko Purwanto, Saifuddin Zuhri, Teguh Santoso, Ali Mukhtarom, dan Mulyono DWi Puryanto menetapkan hukuman nihil dan pembayaran uang pengganti sebesar Rp5,733 triliun kepada Benny Tjokrosaputro.
"Surat dakwaan sebagai batasan dan rujukan dalam pembuktian dan penjatuhan putusan dalam tindak pidana. Sesuai pasal 182 ayat 4 KUHAP yang menyatakan musyawarah hakim harus didasarkan surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti di sidang. Dengan adanya kata 'harus' maka putusan yang dijatuhkan tidak boleh keluar dari dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang," ungkap hakim.
Menurut hakim, surat dakwaan adalah pagar atau batasan yang jelas dalam memeriksa di persidangan bagi pihak-pihak.
"Untuk penuntut umum agar tidak melampaui kewenangan, bagi terdakwa dan penasihat hukumnya dapat mempunyai kesempatan mempersiapkan diri guna membela diri, dan untuk majelis hakim berjalan dalam koridor hukum yang tetap dalam rambu-rambu hukum," jelas Ali.
Baca juga: Terdakwa korupsi Asabri Benny Tjokrosaputro divonis nihil
Baca juga: Hakim kembali tak setuju hukuman mati untuk terdakwa korupsi Asabri
Dalam perkara ini, menurut majelis hakim, hukuman mati yang diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mensyaratkan keadaan tertentu.
"Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam hal tipikor sebagaimana ayat 1 dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Keadaan tertentu adalah sebagai pemberantasan bagi tindak pidana korupsi bila negara dalam keadaan bahaya sebagaimana undang-undang yang berlaku pada waktu bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi dan pada waktu negara dalam krisis ekonomi dan moneter," tambah hakim.
Benny Tjokrosaputro sudah dijatuhi hukuman seumur hidup pada 16 Oktober 2020 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.
Atas putusan tersebut, JPU dan penasihat hukum Benny Tjokrosaputro menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari.
"Kami pikir-pikir dulu, ya kami hormati putusan hakim. Kami pikir-pikir dulu selama tujuh hari untuk menyatakan sikap nanti," kata anggota tim JPU Kejaksaan Agung Sophan.
Sedangkan penasihat hukum Benny Tjokro, Aditya Warman Santoso, juga menyatakan hal senada.
"Kita masih pikir-pikir. Nanti lebih lanjutnya lihat saja dari bandingnya, kalau memang ada yang diajukan atau tidak. Belum ada keputusan (banding) karena dari klien kami masih pikir-pikir," kata Aditya.
Ia pun masih akan membicarakan tindakan hukum lanjutan dengan kliennya tersebut.
"Silakan ditanyakan ke klien langsung. Kami kuasa hukum, kami masih lihat dan masih akan komunikasi dengan klien kami apa langkah selanjutnya yang akan diambil oleh klien kami sebagai principal," ungkap Aditya.