Jakarta (Antara Babel) - Mantan Ketua DPR RI Ade Komarudin memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-elektronik/KTP-e).
"Nanti setelah ini ya," kata Ade saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Kamis sekitar pukul 10.35 WIB.
Ade yang mengenakan batik lengan panjang warna coklat langsung masuk ke gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan tanpa memberikan komentar apa pun terkait pemeriksaannya kali ini.
KPK memeriksa Ade Komarudin untuk tersangka Setya Novanto.
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Setya Novanto (SN)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Selain memeriksa Ade, KPK juga akan memeriksa dua saksi lainnya, yakni Hilda Yulistiawati yang berprofesi sebagai notaris dan Direktur Pendaftaran Penduduk pada Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri Drajat Wisnu Setyawan.
Sebelumnya, KPK telah memeriksa Ade Komarudin untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam kasus yang sama.
"Tidak ada yang berubah, waktu dipanggil untuk tersangka Irman dan Sugiharto sekarang kan tersangkanya Andi Narogong, pada waktu itu saya juga menyampaikan tidak kenal Andi Narogong. Tadi sama, pertanyaannya tak banyak berubah dan jawabannya juga seputar itu," kata Ade seusai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/7).
Ade pun membantah telah menerima aliran dana KTP-e dari mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman yang dikirim oleh
Ketua Panitia Pengadaan Proyek KTP-e saat itu Drajat Wisnu Setyawan.
"Kan bapak-bapak dan ibu-ibu sudah tahu karena itu di persidangan. Dalam sidang Pak Drajat ditanya, Pak Drajat bilang tak tahu," ucap politisi Partai Golkar tersebut.
Sementara itu, dalam persidangan perkara KTP-e di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta Drajat Wisnu Setiawan yang saat itu menjadi ketua panitia pengadaan KTP elektronik mengaku menerima 40 ribu dolar AS dari proyek senilai total Rp5,92 triliun.
"Saya dapat 40 ribu dolar AS dari Pak Giarto (Sugiharto), uangnya saya simpan dan sudah dikembalikan ke KPK 40 ribu dolar AS," kata Drajat dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis beberapa waktu lalu.
Drajat menjadi saksi untuk dua terdakwa yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Padahal dalam dakwaan Sugiharto dan Irman, Drajat Wisnu Setyawan selaku ketua panitia pengadaan menerima sebesar 615 ribu dolar AS dan Rp25 juta.
"Uang diterima setelah selesai e-KTP-nya, saya khilaf menerima uang itu," tambah Drajat.
Dalam putusan majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan terdakwa Irman dan Sugiharto juga disebutkan Ade Komarudin menerima 100 ribu dolar AS aliran dana proyek KTP-e.
Sedangkan dalam putusan itu, Drajat Wisnu juga ikut menerima 40 ribu dolar AS dan Rp25 juta aliran dana proyek KTP-e.
KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun 2011-2012 pada Kemendagri.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin (17/7).
Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sebelumnya, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada Kamis (20/7) juga telah menjatuhkan hukuman penjara tujuh tahun kepada mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan lima tahun penjara kepada mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto dalam perkara korupsi proyek pengadaan KTP elektronik.