Pangkalpinang (ANTARA) - Berdasarkan pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, harga obat-obatan di Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
Dia mengungkapkan bahwa obat-obatan di Indonesia bisa mencapai tiga hingga lima kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan harga di Malaysia dan Singapura. Situasi ini bahkan lebih ekstrem jika dibandingkan dengan India, dimana harga obat di Indonesia bisa mencapai enam kali lipat lebih tinggi.
Keadaan ini menimbulkan pertanyaan besar dari Presiden Jokowi kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengenai mengapa harga obat dan alat kesehatan di dalam negeri lebih mahal, sementara industri farmasi tidak menunjukkan kemajuan. Padahal, seharusnya tingginya harga obat dapat meningkatkan pendapatan industri farmasi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berpendapat penyebab utama permasalahan ini karena inefisiensi perdagangan. Selain faktor impor dan tingginya biaya produksi, harga obat juga dipengaruhi oleh biaya pengangkutan, distribusi, bea impor, serta biaya pemasaran.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, dari 1.809 jenis obat yang tercatat dalam e-katalog, hanya 56 jenis atau sekitar 3 persen yang dapat diproduksi di dalam negeri. Hal ini menunjukkan bahwa industri farmasi Indonesia masih sangat tergantung pada pasokan bahan baku dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan obat-obatannya.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI berupaya memperkuat industri farmasi nasional dengan menggantikan sumber bahan baku impor menggunakan produk dalam negeri melalui program "change source".
Program ini diluncurkan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada Juni 2022-Juni 2023, sebanyak 38 industri farmasi telah difasilitasi untuk menggunakan bahan baku obat produksi dalam negeri. Saat ini, Indonesia mampu memproduksi 8 dari 10 bahan baku obat yang paling sering digunakan, antara lain Parasetamol, Omeprazol, Atorvastatin, Clopidogrel, Amlodipin, Candesartan, Bisoprolol, dan Azitromisin.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan ada tiga solusi untuk meningkatkan kontribusi dan kemandirian sektor bahan baku obat (BBO) di dalam negeri. Solusi tersebut meliputi penguatan struktur industri, kolaborasi dengan BUMN farmasi, serta penerapan instrumen fiskal dalam sektor tersebut. Meskipun berbagai solusi atau upaya pencegahan telah dilakukan, permasalahan ini masih belum terselesaikan.
Sebagai mahasiswi farmasi, saya melihat masalah harga obat yang tinggi di Indonesia sebagai tantangan besar yang perlu ditangani secara komprehensif misalnya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di Indonesia seperti tanaman obat, kita dapat mengoptimalkan produksi bahan baku obat secara lokal.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melaporkan bahwa Indonesia memiliki 2.850 spesies tanaman obat, dengan lebih dari 22.000 ramuan obat tradisional yang telah diidentifikasi secara ilmiah. Pemanfaatan optimal tanaman obat ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan baku obat dari luar negeri.
*) Penulis adalah Adel Ratu Marthabaya, Mahasiswa Farmasi Poltekkes Kemenkes Pangkalpinang
Opini Kite
Dilema industri farmasi Indonesia, antara harga tinggi dan stagnasi perkembangan
Oleh Adel Ratu Marthabaya *) Jumat, 6 September 2024 14:03 WIB